TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Pengarah Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto mempertanyakan penangkapan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus atau Danjen Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko.
Baca juga: Massa Pendukung Prabowo di Bawaslu: Hari Ini Cukup, Besok Lagi
"Ini katanya demokasi kita udah reformasi dan boleh keluarkan pendapat. Belum apa-apa udah dibungkam, dan itu Danjen Kopasuss itu udah berjuang diperlakukan seperti itu."
Soenarko ditangkap atas dugaan kepemilikan senjata ilegal. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan Soenarko telah ditetapkan sebagai tersangka dan kini ditahan di Rumah Tahanan Militer Guntur, Jakarta.
Menurut Wiranto, penangkapan Soenarko merupakan hal yang dibutuhkan demi keamanan negara. "Aparat keamanan tidak mengada-ada tapi memang menjaga keamanan nasional dibutuhkan tindakan tegas seperti itu," katanya dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa, 21 Mei 2019.
Meski begitu, kata Wiranto, polisi masih menyelediki tujuan Soenarko memiliki senjata api. Ia enggan berspekulasi jika senjata tersebut akan digunakan dalam aksi unjuk rasa terkait hasil pemilihan umum pada 22 Mei 2019.
Titiek juga menyayangkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) bagi calon presiden nomor urut 02 Prabowo dalam kasus yang dugaan makar yang menjerat politisi PAN, Eggy Sudjana. Menurut dia, sejak mendaftar menjadi calon presiden, rekam jejak Prabowo sudah teruji melalui seleksi oleh Komisi pemilihan Umum.
"Pangkat apa lagi yg manggil Pak prabowo itu. Kan itu suatu, apa mau menghina, nggak kaya gitu lah ya," ujar Titiek.
Baca juga: Titiek Soeharto Sebut Penjagaan di Aksi 22 Mei Seperti Mau Perang
Dia pun menyebutkan surat kepada Prabowo dikirimkan ke Hambalang, Bogor. "Norak, nggak bisa lebih elegan sedikit ya. Biar rakyat yang menilai rezim apa ini," ujarnya.
Titiek Soeharto merupakan putri dari mantan Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Berdasarkan catatan Tempo, pada era Pemerintahan Soeharto, ratusan aktivis pro demokrasi pernah dijebloskan ke penjara. Nama-nama seperti AM Fatwa, Budiman Sudjatmiko, dan Hariman Siregar pernah menjalani hukum dengan tuduhan makar.
Selain itu, penculikan aktivis terjadi menjelang gerakan mahasiswa yang menyerukan Reformasi 1998 dan sampai saat ini masih ada yang hilang. Empat mahasiswa Universitas Trisakti meninggal tertembak saat menggelar demonstrasi pada 12 Mei 1998.