"Media mana yang nyata-nyata membantu melakukan pelanggaran hukum, kalau perlu kita shutdown, kita hentikan. Kita tutup demi keamanan nasional," ujar Wiranto. Dalam pernyataannya itu, Wiranto tidak menyebut media sosial, melainkan media.
Pernyataan itu kemudian menuai kritik. Dewan Pers meminta Wiranto mengklarifikasi pernyataannya tersebut, apakah menyangkut media pers atau media sosial. "Karena saat itu Pak Wiranto kan bicara dalam konteks medsos juga," kata Anggota Dewan Pers, Ratna Komala saat dihubungi Tempo pada Selasa, 7 Mei 2019.
Menurut Ratna, jika yang dimaksud adalah media pers, maka sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. "Artinya kalau media pers bisa ditutup, dibredel, kita kembali ke zaman orde baru dong. Di mana pers bisa disensor dan diintervensi," ujar Ratna.
Sementara, kata dia, kebebasan pers telah dijamin oleh undang-undang. Jika penyensoran terhadap pers dilakukan, maka reformasi kembali ke belakang. Ratna menuturkan Indonesia sudah terbebas dari rezim yang otoriter di mana media bisa dibredel.
Simak pula :
Wiranto Ancam Tutup Media, Dosen UGM: Cermin Paranoid
Ratna menegaskan, berbagai perkara berkaitan media pers, juga tidak bisa diintervensi pemerintah. Musababnya, ada mekanisme yang telah diatur undang-undang melalui Dewan Pers.
"Aturannya jelas, Dewan Pers dan komunitas pers mengatur dirinya sendiri, meregulasi dirinya sendiri, membuat peraturan yang dibutuhkan terkait kebebasan berpendapat. Sekali lagi, Pak Wiranto harus mengklarifikasi. Enggak bisa main tutup kalau untuk pers," ujar Ratna.