INFO NASIONAL - Making Indonesia 4.0 merupakan sebuah peta jalan yang diterapkan untuk mencapai tujuan Indonesia menjadi negara 10 besar ekonomi dunia pada 2030. Sejak peluncurannya oleh Presiden RI Joko Widodo setahun lalu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) melakukan berbagai langkah untuk mempercepat penerapan Making Indonesia 4.0 sebagai game changer pertumbuhan ekonomi nasional.
“Studi McKinsey menunjukkan, ini berpeluang meningkatkan nilai tambah terhadap PDB nasional sebesar USD 120-150 miliar pada 2025. Selain itu, meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekitar 1-2 persen,” kata Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, pada pembukaan Indonesia Industrial Summit (IIS) 2019 di Tangerang, Senin, 15 April 2019.
Baca Juga:
Pemerintah pun telah menjalankan langkah-langkah strategis untuk mendukung percepatan adopsi industri 4.0. Pertama, peluncuran Indonesia Industry 4.0 Readiness Index (INDI 4.0), atau indikator penilaian tingkat kesiapan industri di Indonesia dalam menerapkan teknologi era industri 4.0. Tahap awal assessment INDI 4.0 telah diikuti oleh 326 perusahaan industri dari sektor industri makanan dan minuman, tekstil, kimia, otomotif, elektronika, logam, aneka, dan sektor engineering, procurement, and construction (EPC).
Tak hanya itu, Indonesia juga berupaya menunjukkan kekuatan di industri manufaktur dengan menjadi negara mitra pada Hannover Messe 2020 di Jerman. Keikutsertaan dalam pameran teknologi industri terbesar di dunia tersebut, merupakan platform strategis untuk mengkampanyekan Making Indonesia 4.0 secara global sebagai inisiatif strategis Indonesia dalam menjawab tantangan Industri 4.0.
“Partisipasi Indonesia sebagai official partner country pada Hannover Messe dapat dimanfaatkan untuk mendorong kerja sama di bidang teknologi industri, meningkatkan ekspor produk dan jasa industri, serta menarik investasi pada sektor industri manufaktur,” ucap Menperin.
Baca Juga:
Dalam pameran tersebut, Indonesia akan berkesempatan menampilkan berbagai produk dan solusi inovatif manufaktur, mempromosikan peluang investasi, serta memperkenalkan kekuatan dan potensi penerapan Industri 4.0 di Indonesia. Implementasi awal akan difokuskan pada lima sektor utama, yaitu makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, dan elektronika.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla mengatakan ini menjadi salah satu milestone dari transformasi industri di Indonesia. Lebih lanjut, posisi ini akan memperkuat pula hubungan bilateral antara Indonesia dan Jerman.
“Tidak benar terjadi deindustrialisasi karena perkembangan industri Indonesia lima persen per tahun, tidak ada yang berkurang. Industri memiliki kontribusi tertinggi dalam PDB kita pada 2014-2017, rata-rata 21,30 persen dan itu tetap tertinggi,” katanya menjelaskan.
Data Badan Pusat Statistik mencatat, tiga besar kontribusi sektor industri pengolahan nonmigas terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional 2018 disumbangkan oleh industri makanan dan minuman (6,25%), industri alat angkutan (1,76%), dan industri barang logam, komputer, barang elektronik dan peralatan listrik (1,74%).
Adapun lima industri dengan pertumbuhan tertinggi pada 2018 didominasi oleh industri mesin dan perlengkapan (9,49%), industri kulit dan alas kaki (9,42%), industri logam dasar (8,99%), industri tekstil dan produk tekstil (8,73%), serta industri makanan dan minuman (7,91%).
Wapres Jusuf Kalla juga menyampaikan terima kasih kepada Kemenperin karena telah beradaptasi dengan baik dalam perubahan teknologi. Menurutnya, kemajuan teknologi dan perubahan di sektor industri tak dapat ditolak, dan sumber daya manusia yang ada pun harus mendukung terjadinya revolusi entrepreneurship.
Langkah Indonesia di era revolusi industri 4.0 tentunya dibarengi transformasi kebijakan ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution berharap industri 4.0 bisa menjadi kunci dari kemajuan ekonomi. Karenanya, strategi kebijakan perdagangan mengarah pada dua sisi, supply side dan demand side. Selain itu, diberlakukan bentuk kebijakan lain untuk mendorong ekspor, seperti insentif fiskal untuk industri berorientasi pada ekspor, kemudahan pelayanan untuk mendorong kinerja ekspor, serta kebijakan pengendalian impor salah satunya dengan peningkatan akses pasar. (*)