TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Krayan yang tinggal di perbatasan Indonesia dan Malaysia punya satire yang akrab untuk mereka: "Di dada ada Garuda, di perut ada Harimau."
Baca juga: Soal Jalur Tikus di Perbatasan, Wiranto: Banyak Wilayah Ompong
Satire ini muncul karena sebagai warga perbatasan, mereka lebih banyak mengkonsumsi makanan dari negeri Jiran itu ketimbang dari Indonesia.
"Faktanya seperti itu, kami orang Indonesia tapi perut kami diisi oleh (produk) Malaysia,"
kata Wakil Ketua Forum Masyarakat Adat Dataran Tinggi Borneo (FORMADAT) Yulius Yagung di Long Bawan, Krayan, Jumat, 5 April 2019.
Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan merupakan daerah terluar Indonesia di Kalimantan Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Wilayah ini masih dikelilingi pegunungan dan hutan yang masih rindang. Dari Ibu Kota kabupaten, daerah ini hanya bisa dicapai dengan pesawat perintis. Jalan darat belum terbuka sepenuhnya.
Produk-produk Malaysia yang dijual di toko di Long Bawan, Krayan, Kaltara, Jumat, 5 April 2019.|Tempo| Ninis Chairunissa
Sulitnya akses itu membuat warga Krayan tak bisa mendapatkan produk kebutuhan sehari-hari dari negeri sendiri. Mereka lebih mudah dan murah mendapatkan produk dari negara tetangga Malaysia. Salah satunya lewat jalur perdagangan darat Long Midang, yang kelak akan dibangun Pos Lintas Batas Negara (PLBN).
Di desa Long Bawan salah satunya. Di sini, warung yang menjual kebutuhan sehari-hari rata-rata menyediakan produk Malaysia. Mulai dari susu, mi instan, bumbu masakan instan, cemilan hingga peralatan sanitasi. "Bahan bangunan juga kami dapat dari Malaysia," kata Yulius.
Bahkan sampai urusan kendaraan roda empat. Hampir semua mobil yang dimiliki warga Krayan berpelat Malaysia. Beberapa diantaranya ada yang tanpa pelat nomor. "Kalau kendaraan roda dua masih bisa masuk ke sini," kata Yulius.
Meski begitu, mantan kepala adat besar Krayan, Yagung Bangau menyebut warga Krayan tetap setia terhadap NKRI. Apalagi mereka telah hidup di tanah itu sebelum NKRI lahir. "Bagaimana mungkin kami tidak setia pada tanah yang kami pijak sejak lama," kata dia.
Krayan didominasi oleh masyarakat adat Dayak Lundayeh yang sudah masuk sekitar 300 tahun lalu. Mereka masih memegang teguh dan menjalankan adat istiadat yang diturunkan nenek moyang. Meski begitu, Yagung mengatakan warga menghargai aturan pemerintah Indonesia. "Di sini, adat, aturan pemerintah dan agama bisa tetap berjalan bersama," ujarnya.
Sebagai bagian dari Indonesia yang berada di garis terdepan, kata Yagung, mereka mengharapkan ada perhatian serius yang diberikan oleh pemerintah. "Mereka sendiri (pemerintah) yang menyebut kami adalah beranda depan Indonesia," ujarnya. Karena itu, menurut dia, sudah selayaknya pemerintah memprioritaskan pembangunan infrastruktur dilakukan di wilayah ini.
Baca juga: 256 Puskesmas Dibangun di Daerah Perbatasan sepanjang 2018
Yagung mengatakan mereka tak memungkiri bahwa sedikit demi sedikit, program pembangunan dari pemerintah mulai masuk. Salah satunya adalah pembangunan jalan dari Long Midang ke Malinau sepanjang 200 kilometer. Pembangunan itu belum sepenuhnya selesai, tapi setidaknya masyarakat sudah bisa merasakan jalan aspal yang mulus meski baru beberapa kilometer. Jalan aspal yang membentang dantara Long Midang dan Long Bawan itu adalah jalan aspal pertama di Krayan.
Sebagian warga Krayan di 89 desa juga sudah bisa menikmati listrik berkat adanya Pembangkit Listrik Tenaga Surya dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel. Namun masih ada juga warga di sejumlah desa yang belum teraliri listrik sama sekali. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Nunukan pada 2016, baru 24 desa di Krayan yang sudah mendapat aliran listrik.
Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie mengungkapkan pihaknya memang memprioritaskan pembangunan infrastruktur di Krayan. Sebab hal tersebut merupakan kunci untuk membangun daerah tertinggal tersebut.
Ia mengaku terus menjalin komunikasi dengan pemerintah pusat agar infrastruktur jalan dan kelistrikan bisa terus berjalan di provinsi yang baru berusia 7 tahun itu. Kebanyakan anggaran infrastruktur di Kaltara berasal dari pendanaan APBN. "Pembangunan infrastruktur harus didorong," kata dia.
Untuk menyediakan kebutuhan sehari-hari warga perbatasan, pemerintah provinsi juga sedang membangun Toko Indonesia. Toko itu akan menjual beragam produk kebutuhan masyarakat sehari-hari dengan harga lebih murah dari produk Malaysia. Tahun ini, pemerintah menargetkan pembangunan toko di Long Bawan tersebut akan rampung dan akan mampu menekan disparitas harga kebutuhan pokok di daerah perbatasan.