TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menemukan dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus pembantaian dukun santet di Banyuwangi, Jember dan Malang 1998-1999. Dalam peristiwa tersebut ratusan orang yang dituding sebagai dukun santet dibunuh dan dianiaya.
"Kedua tindakan kejahatan itu merupakan perbuatan yang dilakukan sebagai serangan yang ditujukan langsung ke penduduk sipil," kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara di kantornya, Jakarta, Selasa, 15 Januari 2019.
Pembantaian dukun santet di Banyuwangi 1998 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang yang diduga melakukan praktek santet dalam kurun Februari hingga September 1998. Selain di Banyuwangi, peristiwa itu juga terjadi di Jember, Malang, hingga Pangandaran.
Peristiwa itu berlangsung bertepatan dengan pergantian kekuasaan dari Soeharto ke B.J Habibie. Bupati Banyuwangi Purnomo Sidik memerintahkan aparat mendata dan melindungi orang-orang yang diduga punya kemampuan supranatural. Data tersebut kemudian bocor, hingga terjadi pembantaian besar-besaran terhadap warga yang dicurigai sebagai dukun santet.
Setelah dilakukan pendataan, kebanyakan korban bukanlah dukun santet. Melainkan guru mengaji, mantri, hingga tokoh masyarakat setempat. Sejumlah korban selamat menuturkan pelaku menggunakan penutup kepala seperti ninja.
Komnas HAM mencatat dalam peristiwa itu 194 orang dibunuh di Banyuwangi, 108 di Jember dan 7 orang di Malang. Selain itu, kebanyakan korban juga mengalami penganiayaan.
Beka menuturkan Komnas menemukan pembunuhan tersebut dilakukan secara sistemik. Pembunuhan, kata dia, selalu menggunakan tindakan yang sama dan berulang. Pelaku mengidentifikasi korban, kemudian massa mendatangi korban dan menganiaya serta merusak rumah korban.
Unsur sistematis, kata Beka, terpenuhi melihat adanya pengkondisian dan lambatnya aparat bergerak. Beka mengatakan tim Adhoc Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kasus ini sejak 2015. Berkas hasil penyelidikan telah disebarkan ke Kejaksaan Agung pada November 2018.
AJI NUGROHO