TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 22 buoy tsunami yang dibangun pada 2008, sudah tidak berfungsi sejak 2012. “Penyebabnya karena vandalisme dan terbatasnya biaya pemeliharaan dan operasional,” kata juru bicara Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, Rabu, 26 Desember 2018.
Kondisi ini menyulitkan untuk memastikan apakah terjadi tsunami di lautan atau tidak. Saat ini Indonesia hanya mengandalkan lima buoy milik internasional di sekitar wilayah Indonesia.
Baca: Abu Vulkanik Gunung Anak Krakatau Sudah ...
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono, mengatakan Indonesia memang belum memiliki alat pendeteksi tsunami yang disebabkan longsor bawah laut dan erupsi gunung api. "Yang ada baru pendeteksi tsunami yang disebabkan gempa tektonik," kata dia saat dihubungi Rabu, 26 Desember 2018. Padahal dinding kawah Gunung Anak Krakatau makin rawan longsor.
Menurut Rahmat, dampak kawah gunung yang longsor adalah seperti tsunami yang terjadi di Selat Sunda. "Tapi tergantung volume luasan area yang longsor, kalau tidak besar mestinya tidak membuat tsunami."
Baca: Kota Serang Juga Terdampak Debu Vulkanik Gunung Anak Krakatau ...
BMKG mengantisipasinya dengan meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan karena Gunung Anak Krakatau juga masih aktif. “Sementara gunung aktif, masyarakat menghindari pantai dulu." BMKG tidak bisa memperkirakan potensi tsunami yang terjadi.
Presiden Jokowi memerintahkan agar BMKG segera mengadakan alat pendeteksi tsunami yang diakibatkan longsor bawah laut atau erupsi gunung api. Beberapa kali kejadian longsor bawah laut memicu tsunami. Seperti di Ende pada 1992, di Palu 2018, dan di Krakatau 2018. “Bencana-bencana itu dipicu longsor bawah laut yang membangkitkan tsunami."
Simak: BMKG Sebut Dinding Gunung Anak Krakatau ...
Sutopo mengatakan masyarakat yang tinggal di pantai sebanyak 3,8 juta jiwa dan rawan terdampak tsunami. Belum lagi bila daerah wisata, maka lebih banyak orang di sekitarnya.
"Biasanya kalau terjadi tsunami yang dibangkitkan gempa atau tektonik, ada peringatan dini tsunami 2-5 menit setelah gempa. Sudah baik. Artinya ada kesempatan menyelamatkan diri," kata dia. Namun berbeda dengan tsunami karena longsor bawah laut atau gunung berapi, tsunaminya datang begitu cepat.
Kejadian di Selat Sunda, kata dia, ada setidaknya tenggat waktu 24 menit setelah terjadi longsoran sampai tsunami menerjang ke pantai. Tapi karena Indonesia tidak punya teknologinya dan tidak punya sistem informasi, sehingga tidak ada warning kepada masyarakat. Masyarakat tidak sempat untuk evakuasi. “Inilah pentingnya mitigasi untuk menyelamatkan masyarakat dari tsunami."