TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak memiliki perencanaan yang terukur dalam melaksanakan pembangunan Trans Papua di kawasan rawan konflik di Papua. Hal itulah, menurut dia, yang menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik hingga menelan korban jiwa.
Baca: Cerita Jokowi Pernah Dilarang ke Nduga Papua karena Soal Keamanan
"Harus ada perencanaan yang terukur, Soeharto saja tidak berani karena rawan konflik," ujar Natalius saat dihubungi Sabtu 8 Desember 2018.
Ia juga mengkritik kebijakan Jokowi yang melibatkan tenaga militer dalam pelaksanaannya. Pelibatan militer dalam pelaksanaan pembangunan di daerah rawan konflik merupakan perintah yang berisiko. Sebab, hal itu berpotensi mengganggu keamanan dan kenyamanan masyarakat Papua.
Menurut Natalius, ancaman yang serius juga dirasakan oleh pekerja sipil yang dibaurkan dengan TNI dalam bekerja. "Yang terancam itu pekerja sipilnya, karena di tengah-tengah mereka dibaurkan militer," ujarnya.
Baca: Purnawirawan TNI AD Minta Kinerja Intelijen di Papua Dievaluasi
Saat perencanaan pembangunan jalan tol Papua itu, Natalius bersama Sipil Society telah menyampaikan protes terkait pelibatan militer dalam pembangunan di daerah konflik, kepada Jokowi. Namun, menurut dia, pemerintah tetap menunjuk militer untuk terlibat dalam proyek tersebut. "Hingga apa yang kami khawatirkan dari awal terjadi, ada penembakan dan memakan korban jiwa," ujarnya.
Keluarga korban berkumpul di depan peti berisi jenazah korban penembakan kelompok kriminal bersenjata (KKB) saat diserahterimakan di hanggar Avco Bandara Moses Kilangin Timika, Mimika, Papua, Jumat, 7 Desember 2018. Sebanyak sembilan jenazah korban penembakan KKB di Nduga diserahterimakan ke pihak keluarga. ANTARA/Jeremias Rahadat
Terkait pembangunan Trans Papua ini, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menjelaskan bahwa sampai saat ini sudah dibangun sepanjang 180 kilometer.