TEMPO.CO, Jakarta - SETARA Institute mencatat ada 40 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang melibatkan pelaku dari penyelenggara negara atau aparat. Berdasarkan data SETARA Institute, hingga Juni 2018, ada 109 peristiwa pelanggaran KBB dengan 136 tindakan.
Adapun penyelenggara negara yang menduduki peringkat pertama dalam pelanggaran KBB adalah Kepolisian RI dengan 14 tindakan. "Mereka ini yang melakukan tindakan kriminalisasi," ujar Direktur SETARA Institute, Halili, di kantornya, Senin, 20 Agustus 2018.
Baca: Setara Institut: Intoleransi Terhadap Keyakinan Meningkat
Halili menilai, pemerintah pusat dan masyarakat sipil harus memberikan perhatian khusus mengenai peningkatan kapasitas aparat kepolisian. Terutama, kata dia, mereka yang berada di lapangan dalam merespon dinamika keagamaan di masyarakat
Di peringkat kedua adalah pemerintah daerah dengan 12 tindakan, disusul institusi pendidikan dengan 5 tindakan. "Nah pemerintah daerah ini melanggar dengan tindakan diskriminasi, intoleransi, dan pelarangan perayaan valentine," kata Halili. Sedangkan pelanggaran institusi pendidikan contohnya adalah pelarangan cadar.
Sementara itu, 96 tindakan sisanya dilakukan oleh pelaku non penyelenggara negara seperti individu, kelompok warga, Majelis Ulama Indonesia, orang tak dikenal, dan FUI. Tindakan yang paling banyak dilakukan adalah intoleransi yaitu 12 tindakan.
Baca: Setara Institute: Terorisme Bermula dari Intoleransi
"Intoleransi kita cukup memprihatinkan. Pelaku non negara sampai dua kali lipat dari pelaku negara," kata Halili. Ia menjelaskan bahwa isu ini terletak pada setiap diri individu sehingga negara harus segera ambil tindakan.
Setara mencatat ada 10 tindakan pelaporan penodaan agama. "Contohnya yang baru-baru ini terjadi. Seorang wanita dilaporkan karena bercerita bahwa volume speaker masjid terlalu keras. Dia dihukum 1,5 tahun penjara," kata Halili.
Selain itu, ucap Haili, penodaan agama ramai setelah kasus yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Kala itu, Ahok dipersoalkan karena pidatonya yang dianggap menyitir surat Al Quran Al Maidah ayat 51.
Kemudian, tindakan teror ada 9 tindakan, kekerasan ada 8 tindakan, dan ujaran kebencian ada 7 tindakan. Meski ujaran kebencian menduduki peringkat terakhir, Halili mengatakan pelanggaran itu tak bisa disepelekan mengingat saat ini media sosial menjadi wadah yang 'efektif' dalam menyebarkan hate speech.
Dari 109 peristiwa pelanggaran KBB, ada lima provinsi menduduki peringkat teratas dengan jumlah kejadian pelanggaran. Rinciannya adalah DKI Jakarta dengan 23 kasus, Jawa Barat dengan 19 kasus, Jawa Timur dengan 15 kasus, DI Yogjakarta dengan 9 kasus dan Nusa Tenggara Barat dengan 7 kasus.
Baca: Kementerian Agama DIY Data Masjid yang Sebarkan Intoleransi