Soedharmono bercerita kalau dirinya saat menjadi Mensesneg (di Kabinet Pembangunan II sampai IV) pernah menjadi orang dalam (inner circle). Menurut Soedharmono, bebannya sangat berat, banyak yang diketahuinya namun harus tutup mulut.
Kadang-kadang, ujar Soedharmono, ada perintah Presiden Soeharto yang harus dilaksanakan padahal hati kecilnya mempertanyakan perintah itu. Selain itu, dia harus pandai-pandai menafsirkan arahan Soeharto.
“Kalau tidak kuat menanggung beban tersebut kita bisa mengalami disorientasi dan perilaku kita bisa menjadi aneh,” ujar Soedharmono lagi.
Sarwono kemudian menjumpai Benny Moerdani. “Jawaban Pak Benny mirip dengan uraian Pak Dhar. Semuanya berpulang pada diri saya,” tulis Sarwono.
Sarwono kemudian merenung. Dia akhirnya memutuskan tetap berada di koridor tengah dan menolak masuk ke dalam inner circle Soeharto.
Suasana diskusi memoar Sarwono Kusumaatmadja berjudul ‘Menapak Koridor Tengah’ di Jakarta, 28 Juli 2018. TEMPO/Untung Widyanto
Pada saat Soeharto memanggil kembali malam hari ke kediamannya di Jalan Cendana, Sarwono sudah mempersiapkan diri untuk menyampaikan keputusannya.
Seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya selama tiga bulan itu, Pak Harto bercerita hal-hal yang sifatnya amat pribadi. Setelah selesai, dia berkata mendapat banyak hal dalam diskusi selama ini dengan Pak Harto.
“Tapi, mohon maaf, saya tidak terbiasa bercakap tentang hal-hal yang terlalu pribadi. Lagi pula Bapak belum memberikan arahan kepada saya selaku menteri, padahal beberapa laporan sudah saya sampaikan,” ujar Sarwono.
Seketika itu juga, wajah Soeharto terlihat berubah mengeras. Kemudian berkata ke Sarwono, “Silahkan minum.”
Setelah berbasa-basi sejenak, Sarwono mohon pamit. Keluar dari Jalan Cendana, dia merasa plong, lega saat itu.
Asal-usul Waskat