TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengkritik langkah pemerintah yang melantik Komisaris Jenderal M. Iriawan atau Iwan Bule sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat pada Senin 18 Juni 2018. Namun, dia mengimbau agar partai-partai politik tidak memperbesar kegaduhan politik menjelang Pilkada serentak yang tinggal menghitung hari, dengan mengajukan hak angket ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menurut Arsul, pilihan Penjabat Gubernur Jabar dari Pati Polri aktif ini menimbulkan perdebatan hukum yang tidak produktif dan kegaduhan politik yang tidak perlu. Kondisi yang menurutnya, seharusnya dihindari oleh pemerintah.
Baca juga: Demokrat Bakal Ajukan Hak Angket Menyoal Pelantikan Iwan Bule
"Namun PPP juga melihat forum untuk meminta akuntabilitas pemerintah bukan dengan penggunaan hak angket, melainkan melalui rapat kerja pengawasan di komisi DPR terkait atau dengan menggunakan terlebih dahulu hak mengajukan pertanyaan kepada Presiden/Pemerintah," ujar Arsul saat dihubungi Tempo pada Selasa, 19 Juni 2018.
Dengan cara tersebut, ujar Arsul, partai tidak perlu memperbesar kegaduhan politik menjelang Pilkada serentak yang akan digelar pada 27 Juni mendatang. "Sebuah kegaduhan jangan terus diperbesar dengan kegaduhan baru yang membuat DPR ini tambah tidak produktif di tengah rendahnya kinerja legislasi," ujar Arsul.
Polemik ini bermula pada kemarin, Senin, 18 Juni 2019, dimana sebanyak 11 anggota dewan dari Partai Gerindra memutuskan absen di acara pelantikan yang dilakukan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo di Gedung DPRD Jawa Barat. Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Jawa Barat Ricky Kurniawan mengatakan, aksi boikot itu bentuk perlawanan terhadap keputusan pemerintah. Mereka mempersoalkan status Iriawan yang berlatar profesi di kepolisian. Keputusan boikot dengan absen hadir secara total itu hanya berlaku di internal partai.
Baca juga: Kontroversi M. Iriawan Jadi Penjabat Gubernur Jawa Barat
Sebelumnya kata Ricky, ada spekulasi pemerintah akan menunjuk Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa sebagai Penjabat untuk menggantikan Ahmad Heryawan sebagai Gubernur yang habis masa kerjanya pada 13 Juni lalu. Penjabat Gubernur bekerja hingga Gubernur terpilih dan wakilnya dilantik pasca pemilihan gubernur Jawa Barat pada 27 Juni 2018. "Kalau Sekda bisa diterima dan netral," katanya Senin malam, 18 Juni 2018.
Penunjukan M. Iriawan yang mantan Kapolda Jabar itu, kata Ricky membuat sebagian masyarakat berspekulasi soal netralitasnya dalam Pilkada Jabar 2018. Apalagi ada mantan Kapolda Jabar Anton Charliyan yang ikut kontes sebagai Wakil Gubernur bersama calon Gubernur TB Hasanuddin sokongan PDIP. "Sesama mantan Kapolda, ada juga jiwa corsa," katanya.
Baca juga: Menjelang Pilgub Jabar 2018: Komjen M. Iriawan Jadi PJ Gubernur
Tak cukup sampai di sana, Partai Demokrat pun menyatakan akan mengajukan hak angket ke Dewan Perwakilan Rakyat terhadap keputusan pemerintah yang melantik Komisaris Jenderal M. Iriawan sebagai penjabat Gubernur Jawa Barat itu. "Segera setelah libur lebaran selesai, kami akan mengajukan angket ke DPR," ujar Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrat, Ferdinand Hutahaean saat dihubungi Tempo pada Selasa, 19 Juni 2018.
Ferdinad menjelaskan, Demokrat menilai pelantikan tersebut melanggar tiga undang-undang sekaligus, yakni UU Nomor 5 Tahun 2104 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Atas dasar tersebut, Partai Demokrat mencurigai ada muatan kepentingan subjektif pemerintah atau Presiden dalam hal ini. "Terlebih pengakuan Tjahjo bahwa dia mengusulkan Sekjen Mendagri untuk Pj Gubernur, tapi Pak Jokowi tetap memilih Iwan Bule. Maka itu kita ingin mengetahui kebenaran yang ada," ujar Ferdinand.
Baca juga: Tarik Iriawan Jadi Asops, Tito: Dia Mumpuni Hadapi Event Besar
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengklaim pihaknya tak menyalahi aturan. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Bahtiar, mengatakan pihaknya telah mempertimbangkan dasar hukum pelantikan tersebut. Pemerintah mengacu kepada Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada sebagai payung hukum.
"Dalam pasal tersebut disebutkan, dalam mengisi kekosongan jabatan Gubernur diangkat Penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku," kata Bahtiar seperti dilansir keterangan tertulis, Senin, 18 Juni 2018.