TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum (MIH) Pascasarjana di Universitas Diponegoro atau Undip Semarang Jawa Tengah (Jateng), Profesor Suteki dikabarkan telah diberhentikan sementara dari jabatannya.
Suteki diduga diberhentikan karena salah satu unggahan di akun media sosialnya terkait organisasi Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI. Menanggapi kabar itu Suteki mengatakan belum menerima surat pemberhentian sementara dari jabatannya.
Suteki mengaku hanya mendapat informasi tersebut dari media bahwa ia diberhentikan sementara selama proses pemeriksaan dari Dewan Kehormatan dan Kode Etik (DKKE).
"Saya belum terima suratnya, bagaimana bisa saya berkomentar. (Pemberhentian sementara dari jabatan Kaprodi MIH) ya menjatuhkan saya, jelas. Namun, apa pun prosedurnya akan saya jalankan," ujar dia pada Ahad 3 Juni 2018.
Sebelumnya, Rektor Undip Profesor Yos Johan Utama mengaku sudah menandatangani surat pemberhentian sementara jabatan Suteki sebagai Kaprodi MIH. Pada 6 Juni mendatang, akan dilakukan pemeriksaan DKKE. Yos enggan menyebut nama Suteki, lantaran peraturan tersebut berlaku untuk semua dosen di Undip yang diduga melakukan pelanggaran etik.
"Ini berlaku untuk siapa pun yang terduga, yang sedang memegang jabatan, dibebastugaskan sesuai PP 53/2010. Saya sudah menandatangani pejabat yang terperiksa," ujar Yos kepada wartawan Kamis 31 Mei 2018 lalu.
Menurut Suteki, ia merasa dihakimi karena ia belum mendapat surat itu sementara kabarnya sudah tersiar seantero Tanah Air. "Saya tidak sejahat dan seburuk itu," ujar dia.
Suteki menyayangkan proses yang diambil terhadap dirinya. Menurut dia seharusnya pihak Universitas Diponegoro menyelesaikan perkara tersebut di lingkup yang lebih sederhana dulu yakni tingkat fakultas.
Menurut Suteki, ia kebetulan menjabat sebagai Ketua Senat Fakultas Hukum. Selama 24 tahun mengajar Pancasila dan Filsafat Pancasila dengan 9 mata kuliah hukum lainnya, Suteki merasa rekam jejakya selama ini tak ada yang perlu disangsikan.
"Hanya karena saya menjadi saksi ahli sidang PTUN Ormas HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) pada 1 Februari 2018, masak saya dikatakan antipancasila dan NKRI?" ujarnya.
Apalagi, kata dia, apa yang terjadi padanya sekarang hanya berdasarkan potongan foto dari informasi yang ia jabarkan soal HTI dalam persidangan. "Itu terlalu prematur jika saya anti-Pancasila, bahkan menjadi anggota HTI. Itu tidak ada sama sekali," ucap Suteki.
Suteki menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan pencabutan badan hukum HTI di PTUN Jakarta. Sebelumnya Suteki juga menjadi saksi ahli yang diajukan HTI saat menggugat Perpu Ormas di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Suteki menjadi saksi ahli merupakan kewajibannya menjelaskan secara keilmuan dalam persoalan kemanusiaan dan hak seseorang dalam berpendapat. Dalam pemeriksaan pertama oleh DKKE, ia mengaku sudah menjelaskan alasan mengapa menjadi saksi ahli soal HTI dalam persidangan.
"Sebagai saksi ahli, saya menjelaskan sesuai dengan kapasitas saya. Tidak ada unsur membela. Saya hanya menyatakan khilafah memang termasuk dalam ajaran islam. Kalau persoalan itu diajarkan di Indonesia belum bisa, itu persoalan lain," ujar dia.
Menurut Suteki, kalau memaksakan sistem khilafah di Indonesia barulah tidak boleh.
Meski sudah menjelaskan dia bukan HTI, kata Suteki, hal tersebut menjadi sia-sia jika tidak dipercaya. Hal itu kemudian ia utarakan di media sosialnya di Facebook dengan gurauan mengenai sumpah pocong soal pembuktian tersebut.
"Ya saya itu candaan saja di media sosial. Sumpah pocong kan tidak berlaku di Indonesia. Mau saya jelaskan bagaimana juga kalau tidak percaya juga tidak akan bisa. He-he-he," kata Suteki.
Suteki mengatakan ia santai saja dalam menjalani prosedur ini. "Diperiksa ya monggo, saya akan jelaskan. Namun kalau belum ada keputusan akhir, ya jangan dibesar-besarkan," kata Suteki.
Suteki juga menyayangkan pemberhentian jabatan sementara yang ditujukkan kepadanya semeskinya tidak dilakukan. Penonaktifan jabatan sementara dalam PP 53 Tahun 2010 dinilai bersifat fakultatif, yakni bisa tidak perlu dilakukan selama jabatan yang diemban tidak mengganggu dan menghalangi pemeriksaan.
"Namun prosedur Undip begitu, ya saya jalankan saja. Monggo (silakan). Sampai nanti ada hasil," ujarnya.
Menurut Suteki, karena ia pegawai dengan golongan 4 maka yang berhak memberhentikan dirinya adalah Kementerian dan Presiden. Dia berharap semua fair dalam memeriksa dirinya.
"Dalam memeriksa nanti juga pasti ada ahli lainnya agar ada pendapat dari pandangan lain. Saya sementara masih mengajar, karena saya dosen," kata Suteki.