TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengirimkan sejumlah surat yang isinya meminta Presiden Joko Widodo mengeluarkan delik korupsi dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). KPK menganggap masuknya delik itu akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
“Kami tak ingin RKUHP yang akan disahkan justru memberikan kado yang membahayakan pemberantasan korupsi dan menguntungkan pelakunya,” kata juru bicara KPK, Febri Diansyah, Sabtu, 2 Juni 2018.
Baca: KPK Ingatkan Jokowi Soal Pelemahan Pemberantasan Korupsi di RKUHP
Dalam salah satu surat KPK bertanggal 4 Januari 2017, ada sepuluh poin yang menjadi alasan KPK menolak masuknya delik korupsi dalam RUU yang rencananya akan disahkan pada Agustus mendatang itu. Berikut adalah ringkasannya:
1. KPK keberatan terhadap RKUHP yang pada pokoknya keberatan atas dimasukannya delik korupsi ke dalam RKUHP.
2. KPK menilai proyek kodifikasi melalui RUU KUHP berpotensi mengabaikan sejumlah aturan seperti Ketetapan MPR tentang penyelenggaraan negara yang bebas KKN, Putusan Mahkamah Konstitusi dan melanggar Konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi tahun 2003 yang diratifikasi Indonesia. Kedua peraturan itu menegaskan Indonesia harus memiliki lembaga khusus anti korupsi yang pelaksanaannya diatur secara khusus dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
3. Sejarah dunia dan Indonesia telah membuktikan bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dapat mengakibatkan ambruknya sistem ekonomi negara dan mengganggu kesejahteraan masyarakat. Krisis moneter 1998 telah menunjukan itu kepada Indonesia. Peristiwa itu kemudian melahirkan ketetapan MPR Tahun 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bebas KKN dan itu menjadi salah satu landasan pembentukan KPK serta UU Tipikor.
4. UU Tipikor mengatur tiga belas jenis tindak pidana korupsi, mulai dari korupsi yang berkaitan dengan keuangan negara hingga merintangi proses hukum pelaku korupsi. Tiga belas jenis tindakan itu berdiri sendiri dan tidak bisa dikategorikan dalam core crime (tindak pidana pokok) bila diintegrasikan dalam RKUHP.
5. UU Tipikor yang menjadi landasan KPK bertindak memiliki sepuluh kelebihan dibandingkan tindak pidana lain. Kelebihan UU Tipikor membuat KPK dapat menjerat seluruh pelaku tindak pidana korupsi. Beberapa kelebihan UU Tipikor antara lain, tidak dihapuskannya hukuman pidana bagi pelaku yang mengembalikan duit korupsi; KPK bisa menjerat korporasi yang melakukan korupsi; dan sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang.
6. KPK menyatakan upaya kodifikasi terhadap ketentutan pidana lain, termasuk korupsi ke dalam RKUHP terinspirasi dari aturan serupa yang diterapkan di Belanda. Namun, KPK meminta pemerintah dan DPR juga dapat membandingkan kondisi korupsi di Belanda di Indonesia. Di Belanda, tindakan korupsi tidak semasif seperti di Indonesia. “Apakah relevan dan masuk akal negeri Belanda dijadikan tolak ukur?”
7. Suatu tindak pidana yang masuk dalam kodifikasi akan sulit diamandemen dan selalu ketinggalan zaman. Bentuk kejahatan yang terus berkembang membuat norma hukum yang dikodifikasi tak mampu menjangkau bentuk kejahatan baru. Hal ini menurut KPK berbeda dengan KUHP di Belanda yang secara berkala direvisi.
8. KPK menyatakan sedang terjadi tren menarik mengenai pembentukan lembaga khusus antikorupsi yang diatur secara dalam konstitusi. KPK mencatat ada 30 negara yang saati ini sudah melakukan hal itu.
9. KPK menganggap memasukan delik korupsi dalam RKUHP bertentangan dengan politik hukum dan kebutuhan negara. Memasukan delik korupsi sama saja mengingkari komitmen bersama yang memandang Indonesia mengalami darurat korupsi.
10. KPK mempertanyakan apakah pemerintah dan DPR melakukan studi banding ke luar negeri saat berencana memasukan tindak pidana khusus ke dalam RKUHP? KPK juga bertanya apa keputusan ini sudah melalui pengkajian ilmiah? Bila tidak, KPK menilai itu sangat beresiko. Memasukan tindak pidana khusus dalam RKUHP akan menghilangkan determinasi dalam implementasi peraturan itu.