TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Institute for Policy Analyst of Conflict (IPAC) Sidney Jones memprediksi aksi teror bom Surabaya dengan melibatkan anak-anak, tidak akan terulang kembali dalam beberapa tahun ke depan.
"Orang ekstremis sendiri tidak mau mengorbankan anaknya. Itu single incident [kasus tunggal], saya berharap begitu. Tidak akan terjadi lagi memakai anak sendiri sebagai pembom bunuh diri," kata Sidney Jones saat ditemui di Hotel Ashley, Jakarta Pusat, Selasa, 22 Mei 2018.
Baca juga: Tetangga Sebut Terduga Pelaku Bom Surabaya Sering Kedatangan Tamu
Aksi bom bunuh diri di Surabaya pada 13 dan 14 Mei 2018 lalu melibatkan tiga keluarga. Dita Upriyanto (46 tahun) bersama istri, dua anak laki-laki serta dua anak perempuannnya melakukan aksi di tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018 pagi.
Malam harinya, bom meledak di unit nomor 2, lantai 5, Blok B, Rumah Susun Sederhana Wonocolo, Sepanjang, Kabupaten Sidoarjo. Anton Febrianto dan istrinya, Sari Puspitarini, sama-sama berusia 47 tahun, tewas bersama putri mereka yang berusia 17 tahun. Sedangkan tiga anak lainnya selamat.
Sehari kemudian, Tri Murtono, 50 tahun, bersama istrinya, Tri Ernawati, 43 tahun, dan tiga anaknya mengendarai dua sepeda motor menuju Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya di Jalan Sikatan.
Baca juga: Begini Kata Tetangga Soal Sosok Pelaku Bom di Surabaya
Saat polisi berniat memeriksa dua sepeda motor itu, bom di pangkuan istri dan anak laki-laki Tri yang berusia 14 tahun meledak. Empat pelaku tewas, sedangkan putri terkecil selamat meski sempat terlempar akibat ledakan.
Menurut Sidney, aksi spektakuler bom bunuh diri dengan mengajak anak-anak di Surabaya itu dilakukan semata-mata untuk menarik perhatian publik. Tanpa aksi itu, Sidney yakin tidak akan ada yang memperhatikan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Sidney Jones menilai aksi di Surabaya tersebut mengindikasikan ada upaya jaringan pendukung ISIS di Indonesia untuk menunjukkan eksistensinya ketika jaringan mereka melemah.
Simak juga: Pelaku Bom di Surabaya Satu Keluarga, Begini Pembagian Tugasnya
“Kalau kita lihat, apa yang terjadi di Surabaya menurut saya harus dilihat bukan sebagai indikasi kekuatan ekstrimis, tapi juga indikasi kelemahan. Kalau kita lihat pola aksi di beberapa daerah lain itu, pada saat suatu kelompok sedang menurun. Jadi mereka mencari taktik spektakuler untuk muncul di tempat umum," ujar Sidney.
Dalam tulisan yang dipublikasi di The Intrepreter (15 Mei 2018) berjudul Surabaya and the ISIS Family, Sidney Jones menjelaskan serangan yang diinisiasi ISIS ini berbeda dengan serangan yang diinisiasi Jemaah Islamiyah (JI).
Pada JI, katanya, hanya melibatkan pria dewasa dalam amaliyah yang mereka lakukan. Sedangkan perempuan tak pernah dilibatkan sebagai kombatan. “Pelibatan anak, biasanya terjadi karena mereka telah menjadi yatim piatu.”
Simak juga: Alumni Unair Menolak Dikaitkan dengan Pelaku Teror Bom Surabaya
Sebaliknya dengan ISIS, yang sejak semula sudah menjadikan masalah teror berkaitan dengan keluarga. ISIS meminta kepada seluruh pengikutnya untuk datang ke Suriah supaya ayah bisa bertempur dan ibu bisa melahirkan anak, mengajar, dan mengobati yang terluka, dan anak-anak bisa tumbuh dalam negara Islam versi ISIS.
“ISIS berhasil mengubah konsep jihad menjadi urusan keluarga, dengan peran untuk semua orang. Perempuan adalah 'singa betina' anak-anak adalah 'anak singa'. Setiap orang diberi misi,” tulis Sidney Jones dalam artikelnya yang menjelaskan soal bom Surabaya.