TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Buruh Sawit meminta pemerintah membuat aturan tentang buruh sawit. Upaya ini dilakukan untuk menjamin hak-hak buruh sawit.
"Kondisi kerja buruh sawit sangat berbeda dengan industri manufaktur," kata labor specialist Sawit Watch, Zidane, dalam diskusi Koalisi Buruh Sawit di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, Ahad, 29 April 2018.
Baca: Serikat Petani Sawit: Penyaluran Dana Sangat Tak Adil
Menurut Zidane, jika ada aturan khusus, hak-hak para buruh sawit akan lebih terjamin. Selama ini, jaminan perlindungan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dianggap gagal melindungi buruh sawit.
Zidane mencontohkan perihal hubungan kerja. Menurut dia, mayoritas hubungan kerja buruh dengan pengusaha tidak terdokumentasi atau tidak tercatat.
Pada 2016, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat terdapat 10 juta orang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Sawit Watch memperkirakan 70 persen buruh sawit adalah buruh harian lepas. Mereka adalah pekerja yang tidak memiliki kepastian kerja, penghasilan, dan masa depan.
Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Perkebunan Natal Sidabutar mencatat ada keterlibatan anak yang bekerja di perkebunan sawit. Hal ini, kata dia, untuk mencapai target kerja yang diterapkan pengusaha terhadap buruh.
Menurut Natal, seorang buruh harus mendapatkan target panen 1.200-2.000 kilogram setiap hari. "Target ini, jika tidak tercapai, upahnya akan dipotong. Banyak sanksi potongan upah," ujarnya.
Baca: Pemerintah Janjikan Produktivitas Sawit Bukan Penambahan Lahan
Natal juga mengatakan ketentuan upah minimum dan kebebasan berserikat masih menjadi sesuatu yang langka.
Koalisi Buruh Sawit mencatat, di Sulawesi Tengah, upah minimum kabupaten/kota (UMK) per hari Rp 60 ribu dengan upah riil harian Rp 60 ribu. Di Kalimantan Tengah, UMK per hari Rp 84.116, sedangkan upah riil Rp 59.400. Di Sumatera Utara, UMK per hari Rp 80.480, sementara upah riil Rp 78.600. Di Papua, UMK per hari Rp 96.672, sedangkan upah riil Rp 61.295.