TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa kasus korupsi e-KTP Setya Novanto memohon kepada Komisi Pemberantasan Korupsi agar diterima sebagai justice collaborator. Setya juga berharap mendapatkan tuntutan yang ringan dari jaksa penuntut umum.
“Saya dengan sungguh-sungguh memohon kepada KPK, agar mempertimbangkan saya justice collaborator,” kata Setya sambil terisak di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis, 22 Maret 2018.
Setya Novanto mengaku dirinya menyesal atas perbuatannya hingga menjadi terdakwa kasus korupsi e-KTP. Jabatannya sebagai Ketua DPR saat itu, kata dia, telah dimanfaatkan para pengusaha untuk memperkaya diri.
Baca: Setya Novanto Menyesal, tapi Tak Mengaku Terlibat Kasus E-KTP
“Itu semua kesalahan saya karena saya lengah, padahal tujuan saya sebagai ketua fraksi hanya mendukung program pemerintah,” kata Setya.
Setya Novanto mengajukan diri sebagai justice collaborator sejak Januari 2018. Ia mengaku akan membuka pihak-pihak lain yang terlibat dalam megakorupsi e-KTP. Namun KPK mengindikasikan menolak memberikan status JC karena mantan ketua DPR itu tak juga mengakui perbuatannya.
Majelis hakim pun sempat mengancam akan menolak pengajuan justice collabolator Setya Novanto. Hakim mengatakan, di persidangan Setya memang kerap membuka peran orang-orang yang terlibat di korupsi e-KTP, sedangkan ketika ditanya tentang peran dirinya, Setya selalu membantah.
Baca: PDIP: Setya Novanto Sebut Banyak Nama Demi Justice Collaborator
Menurut hakim, Setya lebih berperan layaknya whistle blower ketimbang justice collaborator. Sebab Setya lebih banyak mengumbar peran orang lain sedangkan terkait adanya uang mengalir ke dirinya, ia tidak mengetahui.
Kuasa Hukum Setya Novanto Maqdir Ismail mengatakan tidak ada yang ditutup-tutupi dalam keterangan yang diberikan kliennya. Maqdir mengatakan tidak mungkin Setya mengakui suatu hal yang tidak ia lakukan. "Bisa tidak ia tidak mengakui apa tidak ia lakukan? Tinggal kita mau percaya atau tidak?" ujar Maqdir.
Menurut dia, Setya Novanto sudah berusaha keras untuk membantu KPK dalam mengungkap kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun ini. Tidak mudah dan beresiko tinggi, kata Maqdir, ketika menyebut pejabat-pejabat negara yang diduga menerima uang.