TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, membantah pertemuan di Sukamiskin antara dia, Setya Novanto, Firman Wijaya, dan Saan Mustofa untuk merancang skenario fitnah terhadap Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY dan Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas terkait dengan kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
"Surat hoax itu disebarkan sebagian orang di lingkungan Pak SBY tanpa klarifikasi terlebih dahulu dan kemudian malah digoreng sedemikian rupa," kata Anas, melalui surat yang dititipkan kepada Divisi Komunikasi Publik Pimpinan Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia, Bobby Triadi, Senin, 12 Februari 2018.
Baca juga: 3 Elemen Partai Demokrat Laporkan Advokat Firman Wijaya ke Polisi
Sebelumnya beredar surat yang diduga ditulis Mirwan Amir kepada salah satu media massa tentang pertemuan dengan Saan Mustopa, Anas Urbaningrum, dan Firman Wijaya di Lapas Sukamiskin. Pertemuan itu disebut untuk merencanakan fitnah terhadap SBY.
Pada Selasa, 6 Februari 2018, politikus Partai Demokrat, Andi Arief, mencuit bahwa Firman diduga melakukan pemufakatan jahat sehubungan dengan disebutnya nama SBY. Andi mengungkapkannya melalui akun Twitter @andiarief_ dengan mencantumkan nama beberapa politikus. Dalam akun itu tertulis:
“Pagi ini dikejutkan dengan beredarnya surat Mirwan Amir bahwa persidangan 25 Januari 2018 lalu yang menyebut nama SBY adalah hasil permufakatan jahat Firman Wijaya, Saan Mustofa, Anas Urbaningrum, dan Setya Novanto. Kami masih klarifikasi kebenarannya.”
Anas mengatakan dapat membuktikan bahwa pertemuan di Sukamiskin itu tidak pernah terjadi. Caranya, menurut dia, adalah dengan memeriksa buku tamu dan CCTV atau menanyakan langsung kepada warga di Sukamiskin.
"Tidak ada tempat kunjungan tamu yang tertutup, tidak ada warga yang bisa merahasiakan tamunya. Apalagi kalau itu sebuah pertemuan," katanya.
Anas menyebut orang yang menyebarkan serta mempercayai surat itu menyedihkan. Dia menyebut langkah itu sangat picik serta mengkhianati semangat dan kampanye antifitnah dan hoax.
"Saya mengerti bahwa jihad mencari keadilan adalah tindakan mulia. Tapi mencari keadilan yang disertai dengan pembiaran penyebaran hoax dan fitnah justru berarti membelakangi keadilan itu sendiri dan terkesan lebih mementingkan gincu," katanya.
Anas menganggap dialah yang menjadi korban fitnah. Fitnah yang dimaksud Anas adalah tentang gratifikasi berupa mobil Toyota Harrier dan uang Rp 100 miliar dalam kasus korupsi pembangunan kompleks olahraga Hambalang, yang menjerumuskannya ke dalam penjara saat ini. "Sakitnya masih harus saya dan keluarga jalani sampai hari ini," katanya.
Selaku korban fitnah, dia mengatakan tidak akan menyakiti orang lain, termasuk SBY, dengan fitnah. Anas beralasan dia percaya takdir dan datangnya hari keadilan. "Saya tidak tega dan tidak suka memakan bangkai saudaranya sendiri. Itu menjijikkan!" katanya.