TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naispospos mengatakan kasus yang terjadi di Gereja St. Lidwina merupakan serangan kepada kebebasan beragama. Jemaah di Gereja St. Lidwina diserang oleh seorang pemuda yang membawa pedang pada Ahad, 11 Februari 2018.
“Kasus ini harus kita lihat sebagai serangan kepada kebabasan beragama karena kejadiannya berlangsung saat sedang ibadah,” kata Bonar kepada Tempo, Ahad, 11 Februari 2018.
Baca: Gereja St Lidwina Sleman Diserang Pria dengan Samurai
Menurut Bonar, penyerangan terjadi karena ada kelompok-kelompok yang merasa diuntungkan dengan menggunakan isu keagamaan. Ia mengatakan, keuntungan tersebut bisa untuk individu dan kelompoknya secara ekonomi, politik, maupun sosial.
Simak: Survei Wahid Foundation, Indonesia Bangsa Tidak Toleran
Bonar mengatakan, isu keagamaan mencuat karena dalam kasus ini, Yogyakarta sedang mengalami era distrupsi. Menurut Bonar, sebelumnya Yogyakarta dikenal sebagai kota yang toleran.
Namun, kata Bonar, perubahan sosial yang begitu cepat, ditambah dengan digitalisasi kehidupan sosial, dapat mengakibatkan relasi-relasi yang tadinya sudah teratur, menjadi berubah dan tidak lagi toleran. Akhirnya, menurut dia, orang atau kelompok tersebut menganggap identitas yang berbeda sebagai lawan.
Baca: Begini Detik-detik Penyerangan Gereja St Lidwina Sleman
“Orang jadi cemas. Mengakibatkan tadinya yg sederhana menjadi terganggu. Itu lah sebabnya menjadi penting untuk menunjukkan dan memperkuat identitas mereka,” kata Bonar.
Pandangan yang keras dalam agama, menurut Bonar, juga menjadi faktor yang memperkeruh ketidakbebasan beragama. Di sisi lain, kata Bonar, masyarakat asli di Yogyakarta juga merasa tersingkir akan datangnya orang luar karena kesenjangan ekonomi.
Simak: Kesaksian Ketua Gereja St Lidwina: Romo Prier Korban Terparah
Menurut Bonar, hal itu lah yang membuat Yogya mendapat sorotan beberapa tahun terakhir soal politik identitas, khususnya kebebasan beragama. Ia pun menilai aparat dan Sultan sebagai penjaga kebudayaan Yogyakarta, belum menunjukkan kebijakan dan tindakan yang mampu menjaga toleransi yang sebenarnya dulu sudah baik di Yogyakarta. “Kalau terus dilakukan pembiaran dan tidak diselesiakan secara serius, maka dikhawatirkan akan menjadi problem yang lebih besar lagi di kemudian hari,” kata Bonar.