TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi untuk Keadilan, Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua, Civil Liberty Defenders, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meminta aparat gabungan TNI dan Polri tidak berlaku sewenang-wenang di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, Papua. Anggota gabungan dari TNI dan Polri diduga melakukan penembakan dan penganiayaan di Nduga.
"Menurut keterangan yang disampaikan teman-teman di lapangan memang ada anggota (TNI/Polri) yang turun dan melakukan penembakan, itu di tanggal 15," kata Ketua Koalisi Untuk Keadilan, Hukum dan HAM Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem saat di konfirmasi Tempo, Rabu, 20 Desember 2017.
Baca: Selesaikan Persoalan Papua, Pemerintah Diminta Kedepankan Dialog
Dalam siaran pers koalisi aktivis tersebut, situasi mencekam di Nduga, Papua, berawal dari peristiwa penyerangan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) terhadap anggota TNI pada 12 Desember 2017.
Peristiwa tersebut menyebabkan operator excavator Yovicko Sondak meninggal dunia dan satu anggota TNI Prada Didimus Abindodifu luka-luka. Atas kejadian tersebut, aparat gabungan melakukan penyisiran di Bandara Daragma, Distrik Mugi, Kabupaten Nduga.
Disebutkan oleh koalisi, dengan menggunakan dua pesawat komersial, aparat keamanan melakukan penembakan secara acak ke arah masyarakat yang datang ke bandara dan juga ke arah rumah-rumah masyarakat dan bangunan lainnya di sekitar Bandara Daragma. Akibatnya, lima orang terkena timah panas, empat orang luka-luka dianiaya dan dua rumah dibakar.
Korban luka tembakan adalah RNN, luka-luka akibat tembakan di bagian paha kanan; RN: masyarakat sipil, terkena tembakan di paha; SG, terkena tembakan di paha kaki kanan saat di dalam rumah; RN, terkena tembakan di bagian leher; dan BK, seorang pelajar kelas III SMA terkena tembakan di bagian lengan tangan kiri. Korban penganiayaan adalah RG, EK AK dan IN. Sementara itu, dua rumah masyarakat yang dibakar adalah rumah milik MG dan MK.
Baca: Jokowi Targetkan Papua Terang Benderang pada 2018
Setelah kejadian tersebut, akses jalan dari Kabupaten Jayawijaya ke Kabupaten Nduga harus melapor untuk mendapatkan surat jalan kepada pos penjagaan di lima titik yaitu Pos Napua, Pos Mbua, Pos Yigi, Pos Yal dan terakhir di Pos Mugi. Hal ini sangat menghalangi mobilitas masyarakat, jurnalis, dan advokasi ke Mugi.
Atas situasi di atas, Civil Liberty Defenders, Veronica Koman meminta aparat gabungan dari TNI dan Polri berhenti melakukan sweeping. Selain itu, dia juga meminta adanya pertanggungjawaban terhadap korban. "Yang luka-luka diobati dan yang jadi korban tidak diintimidasi lagi," katanya kepada Tempo, Rabu, 20 Desember 2017.
Dalam siaran pers tersebut, koalisi juga mendesak Kapolda Papua dan Pangdam Cenderawasih untuk menarik aparatnya dari wilayah Nduga dan mendesak pemerintah untuk menjamin korban dan keluarga korban dari intimidasi serta mendapat perawatan dan upaya pemulihan kepada masyarakat yang mengalami trauma dan ketakutan.
Tempo sudah berusaha menghubungi Kapolda Papua, Inpektur Jenderal Boy Rafli Amar, untuk mengkonfirmasi kejadian tersebut melalui telepon. Tetapi belum berhasil dihubungi. Hingga berita ini diturunkan, Tempo masih berusaha menghubungi Boy.