INFO MPR - Wakil Presiden ke-11 Boediono memberi catatan-catatan tentang reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional model Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai haluan penyelenggaraan negara ketika berbicara sebagai narasumber dalam simposium yang diselenggarakan MPR di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 29 November 2017.
Cacatan pertama dari Boediono adalah proses pembuatan GBHN pada saat ini berbeda dengan proses pada waktu penyusunan GBHN saat Orde Baru. Pada masa Orde Baru, GBHN disusun tim kecil, yaitu Tim 9 kemudian dibawa ke proses politik di MPR. Pembahasan di MPR tidak banyak perubahan. “Perbedaan proses ini agar dipikirkan. Apakah GBHN bisa mengobati adanya pembangunan yang terpotong antar pemerintahan bahkan antar menteri dalam satu kabinet, ketidaksambungan antara pusat dan daerah,” katanya.
Catatan kedua, pada masa lalu GBHN mencakup semua sektor dan sangat lengkap. GBHN ini adalah turunan dari sistem perencanaan total yang dipakai di negara-negara seperti Uni Soviet, Tiongkok dan negara-negara Barat. “Tapi sekarang sudah berubah. Mereka tidak memakai haluan negara yang mencakup semuanya melainkan hanya tema-tema yang penting, kemudian dinamakan strategic plan,” kata Boediono. Strategic plan ini dipakai negara Tiongkok saat ini. Negara itu fokus hanya pada lima tema yang dianggap utama untuk diatasi secara sistematis. “Kalau kita kembali pada format GBHN yang baru barangkali tidak ada manfaatnya. GBHN masa Orba hanya cocok pada masa saat itu. Sekarang semestinya memakai strategic plan atau rencana strategis,” ujar Boediono.
Catatan berikutnya, perubahan situasi saat ini memerlukan pemikiran baru mengenai format dan isi GBHN. “Situasi dunia saat ini dan ke depan penuh dengan ketidakpastian. Krisis bisa datang sewaktu-waktu. Dunia sedang mengalami ketidakpastian dalam ekonomi, politik, dan keamanan. Karena itu, GBHN jangan menjadi sesuatu yang kaku. Jika GBHN kaku, maka langkah pemerintah terpasung (GBHN) menghadapi situasi yang berubah,” kata Boediono.
Catatan selanjutnya menyangkut soal kelembagaan. Indonesia sudah memilih sistem presidensial. Dengan sistem itu, presiden seharusnya mempunyai ruang yang cukup untuk melakukan kreativitas dan inovasi. “Dalam GBHN harus ada keseimbangan antara ruang yang telah dipatok oleh GBHN dengan ruang bagi presiden untuk melakukan inovasi. Keseimbangan itu diperlukan agar tidak terjadi gesekan antara batas yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan presiden,” tutur Boediono.
Catatan terakhir, Boediono menyarankan agar memilih tema-tema yang benar-benar relevan selama 10 – 15 tahun ke depan yang dirumuskan secara tajam agar GBHN bisa saling menyambung antar-pemerintahan. “Kalau saya usul, fokus pada pembangunan manusia. Karena sumber daya manusia menjadi kunci untuk bisa berkompetisi dengan negara lain. Yaitu, bagaimana menyiapkan generasi manusia baru Indonesia yang secara jasmani dan rohani unggul. Ini salah satu contoh fokus dalam GBHN,” ucapnya.
Dalam perumusan fokus tersebut, lanjut Boediono, perlu secara tajam dan prosesnya tidak hanya politik tetapi juga proses teknokratis dengan melibatkan para ahli. Misalnya, bagaimana pendidikan Indonesia selama 20 tahun. Bukan semata pendidikan tapi juga kesehatan. Pendidikan dan kesehatan menjadi satu kesatuan. “Intinya bagaimana membangun manusia Indonesia yang unggul,” katanya. (*)