TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo menilai niat Polri membentuk dan memfungsikan Detasemen Khusus Antikorupsi karena ada perubahan signifikan dalam kebijakan pembangunan nasional. Menurut dia, perubahan itu ditandai oleh besaran transfer dana ke daerah serta dana desa yang memerlukan pendekatan baru pada aspek pengawasan dan pengamanan.
"Transfer dana daerah plus dana desa sudah mencapai kisaran Rp 760 triliun dengan sebaran transfer dana ke daerah mencakup 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota. Pada 2017, jumlah desa penerima dana desa tercatat 74.954," kata Bambang pada Kamis, 2 November 2017.
Baca juga:
Baca: Jaksa Agung: Penundaan Densus Antikorupsi Sudah Tepat
Bambang menilai besaran dan luasnya wilayah sebaran transfer dana ke daerah dan dana desa itu sudah menggambarkan beban pengawasan dan beban pengamanan yang sangat tidak ringan. "Kalau tidak ada strategi baru, akibatnya sudah bisa diduga, total dana pembangunan yang tidak efektif akan meningkat karena hanya diendapkan di bank oleh puluhan pemerintah daerah. Sampai kapan dana-dana pembangunan itu akan diendapkan pun tidak ada yang tahu," ujarnya.
Politikus Partai Golongan Karya itu pun menuturkan, dalam konteks itu, Polri merancang dan menyiapkan Densus Tipikor karena jelajah kerja institusi tersebut mencakup seluruh wilayah negara. Selain itu, Densus Tipikor disiapkan untuk mengambil peran besar atas beban pengawasan dan beban pengamanan kebijakan pembangunan nasional itu.
Baca: Soal Densus Tipikor, Kabareskrim: Sifatnya Mirip Densus 88
"Unit-unit Densus Tipikor akan siaga dan bekerja di 34 provinsi, 416 kabupaten, 98 kota, 74 ribu desa," kata Bambang.
Karena itu, menurut Bambang, tak ada yang salah dari langkah Polri membentuk dan memfungsikan Densus Tipikor. "Pemerintah hendaknya lebih proaktif dalam memberikan pemahaman kepada publik tentang beban pengawasan dan beban pengamanan kebijakan pembangunan nasional," ucapnya.