INFO MPR – Sejarawan, A. B. Kusuma menyayangkan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) tidak membuka kepada publik terutama peneliti untuk bisa mengakses arsip otentik. Peneliti kesulitan mengakses sumber primer tentang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Padahal arsip yang otentik merupakan condition sine qua non untuk penulisan sejarah yang baik dan benar.
“Kalau pada masa Orde Baru mungkin bisa dimaklumi ketika masih terjadi De-Soekarnoisasi. Tetapi sekarang sudah era reformasi. De-Sukarnoisasi sudah dicabut. Sekarang sudah ada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Tapi arsip primer BPUPK dan PPKI masih tertutup,” katanya dalam “Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat” di Press Room, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin, 16 Oktober 2017.
Menurut A. B. Kusuma, penulisan sejarah harus didasarkan pada sumber sejarah yang otentik, terutama sumber primer. Sesungguhnya, kata dia, suatu karya sejarah sedapat-dapatnya didasarkan atas sumber primer. Dia menilai karya sejarah yang banyak memakai sumber primer lebih tinggi daripada karya sejarah yang berdasarkan sumber sekunder. “Sekarang ini penulisan sejarah bukan dari sumber sejarah primer tapi dari sumber sekunder,” ucapnya.
A. B. Kusuma mencontohkan Sejarawan, Prof Nugroho Notosutanto, yang menulis buku Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (1981) dengan menggunakan sumber sekunder, yaitu buku Naskah Persiapan UUD 1945 susunan Prof Mr. M. Yamin. Padahal buku M. Yamin banyak kesalahan dan ada rekayasa-rekayasa. “Arsip sekunder boleh dipakai asal tidak bertentangan dengan arsip primer,” ujarnya.
Setelah mengadakan penelitian, A. B. Kusuma berkeyakinan bahwa isi pidato M. Yamin dalam Naskah Persiapan UUD 1945 tidak otentik. Naskah persiapan UUD 1945 tidak memuat pidato Bung Hatta, Ki Bagus Hadikusumo, dan kurang lebih 30 anggota BPUPK. Sesungguhnya semua itu tercantum dalam dokumen yang dihimpun Mr. A. G. Pringgodigdo dan adiknya Mr. A. K. Pringgodigdo.
A. B. Kusuma mengaku sudah mencari arsip otentik BPUPK dan PPKI sejak 1992. “Di Belanda, arsip BPUPKI dan PPKI bisa diakses. Bukan hanya arsip Pringgodigdo, tapi juga arsip yang sangat rahasia, seperti arsip serangan Jogja,” tuturnya.
Kusuma menegaskan arsip-arsip otentik itu harus bisa dibuka dan diakses karena berpengaruh pada penulisan sejarah. Lebih jauh, Kusuma mengungkapkan kesalahan-kesalahan penulisan sejarah mengenai pidato 1 Juni 1945, Piagam Jakarta (penghapusan tujuh kata), tentang hari lahir DPR, dan kesalahan di Pusat Dokumentasi Sejarah Konstitusi Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, Direktur Layanan dan Pemanfaatan Arsip ANRI Agus Santoso mengakui arsip yang disimpan ANRI tidak semuanya lengkap, khususnya arsip pada masa awal kemerdekaan (Republik). ANRI masih melengkapi arsip, salah satunya arsip tentang BPUPK dan PPKI. “Arsip nasional belum mendapatkan arsip-arsip itu,” ujarnya.
Namun Agus menegaskan arsip yang ada di ANRI sudah dibuka dan bisa diakses masyarakat. “Silakan diakses, bukan hanya arsip tentang BPUPK yang ada, tapi juga arsip perjuangan, seperti perjuangan pahlawan di Surabaya dan Bandung Lautan Api,” katanya.
Arsip yang masih ditutup, lanjut Agus, adalah arsip yang berkaitan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). “Arsip yang sifatnya khusus (tentang PKI) masih ada di lembaga lain. Kita belum mengumpulkannya. Selain arsip tentang PKI, semua arsip bisa diakses dan tidak ada yang tertutup,” ucapnya.
Anggota DPR Komisi X, Popong Otje Djundjunan ikut menjadi narasumber dalam “Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat”. Turut hadir Ketua Lembaga Pengkajian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Rully Chairul Azwar dan Kepala Biro Humas MPR Siti Fauziah. (*)