TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan elektabilitas pesaing Jokowi, Prabowo, menurun. Dibandingkan dengan periode sebelumnya, tingkat elektabilitas Prabowo turun dari 13,6 persen menjadi 12 persen. "Yang harus dilihat adalah data longitudinal atau tren dibandingkan dengan periode sebelumnya," kata Yunarto kepada Tempo, Selasa, 10 Oktober 2017.
Ini berbanding terbalik dengan elektabilitas Presiden Joko Widodo. Menurut Yunarto, tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi meningkat. Dia mencontohkan, survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada 2015 menyebut angka kepuasan publik sebesar 49 persen. Dalam rilis SMRC pekan lalu, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sebesar 61 persen.
Baca:
Bantah Tiga Survei, Charta Politika: Elektabilitas Jokowi Naik
Tiga Survei Berbeda, Elektabilitas Jokowi di Bawah 50 Persen
Tingkat kepuasan publik itu, ujar Yunarto, linear dengan elektabilitas. Tingkat kepuasan publik diikuti peningkatan elektabilitas. Elektabilitas Jokowi meningkat dari 25,5 persen pada 2015 menjadi 38,9 persen.
Berbeda dengan hitungan Charta Politika, tiga lembaga merilis hasil survei mengenai elektabilitas Jokowi dalam pemilihan presiden 2019. Hasilnya senada, yakni elektabilitas Jokowi masih di bawah 50 persen. Namun Yunarto membantah elektabilitas Jokowi buruk.
Ia mengatakan angka di bawah 50 persen itu karena ada responden yang belum menentukan pilihan atau undecided voter. Sedangkan ketika di tempat pemilihan suara (TPS), undecided voter dianggap tidak ada. "Undecided voter dianggap hilang dan yang dibilang 100 persen itu hanya suara sah. Jadi otomatis biasanya angkanya akan naik," kata Yunarto.
Baca juga:
Eggy Sudjana Tagih Janji Anies Hentikan Reklamasi Teluk Jakarta
Menjelang Tahun Politik, Jokowi Akan Kumpulkan Kepala Daerah...
Dari tren ini, Yunarto mengatakan, Jokowi masih calon kuat dalam pilpres 2019. "Kalau pertarungan hanya berujung pada kelanjutan 2014, saya pikir Jokowi akan sulit dikalahkan."
Yunarto menilai lawan politik Jokowi gagal memainkan pertarungan isu. Politik identitas menyangkut konflik suku, ras, agama, dan antargolongan (SARA) tidak berhasil. Lawan politik Jokowi disarankan belajar memainkan strategi lain yang lebih substansial. Ia mencontohkan masalah pemerataan, kesenjangan, kemiskinan, atau kegagalan mencapai target sebagai pokok bahasan. “Kalau itu terjadi, menurut saya, pertarungan akan positif," ujarnya.
Baca juga: Pemilu 2019: Jokowi Bisa Kalahkan Penantang Baru, Jika…