TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto akan melaporkan lima komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi ke Badan Reserse Kriminal Polri, jika lembaga antirasuah kembali mengeluarkan surat perintah penyidikan baru untuknya. Pengacara Setya, Fredrich Yunadi, mengatakan pihaknya telah berkoordinasi dengan kepolisian terkait hal tersebut.
Fredrich membeberkan sejumlah pertimbangan yang mendasari langkah itu. Pertama, putusan praperadilan Setya Novanto sudah final dan mengikat. Putusan hakim, kata dia, telah menolak eksekpsi dan memerintahkan termohon (KPK) untuk menghentikan penyidikan. "Putusan itu perintah undang-undang, yang tidak menaati bisa dilaporkan, diatur dalam KUHP," ujarnya di kantornya, di Jakarta Selatan, Jumat, 6 Oktober 2017.
Baca: Setya Novanto Ancam Laporkan Komisioner KPK ke Bareskrim Polri
Ia menegaskan Indonesia menganut hukum positif, bukan hukum rimba. Karena itu, dia meminta kepada penegak hukum untuk patuh pada aturan hukum. "Apakah masih layak klaim sebagai penegak hukum kalau tidak patuh," ujarnya.
Pada Jumat, 29 September 2017, hakim tunggal Cepi Iskandar, memenangkan gugatan praperadilan yang diajukan Setya Novanto. Hakim memutuskan penetapan status Setya sebagai tersangka kasus korupsi kartu tanda penduduk berbasis elektronik atau e-KTP tidak sah.
Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK pada 17 Juli 2017. Ketua Umum Partai Golkar itu diduga menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain, dan korporasi hingga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari proyek e-KTP.
Simak pula: Pakar Hukum Sebut Putusan Praperadilan Setya Novanto Bisa Gugur
Setelah putusan praperadilan itu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memastikan lembaganya akan menerbitkan sprindik baru untuk Setya Novanto. Saut mengatakan, meski KPK masih mempelajari putusan tersebut, pengusutan perkara korupsi e-KTP terhadap Setya tidak akan berhenti.
Fredrick menambahkan, pihaknya akan melaporkan komisioner KPK ke kepolisian dengan menggunakan Pasal 216, Pasal 220, dan Pasal 421 KUHP dan Pasal 23 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika KPK mengeluarkan sprindik baru untuk Setya Novanto.
Lebih lanjut, Fredrich mengatakan, dalam Pasal 77 KUHP sudah jelas diatur mengenai ketentuan praperadilan. "Praperadilan itu sudah sangat jelas untuk menjamin hak asasi manusia kepada seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.
Meski demikian, Fredrich menyadari ada peraturan Mahkamah Agung yang menyatakan putusan praperadilan bisa gugur bila penyidik menemukan dua alat bukti baru. "Namun itu sifatnya pertimbangan hukum, bukan alas hukum. Dua hal yang berbeda," tuturnya.
Dia bahkan mencontohkan bagaimana sprindik baru kembali diterbitkan pasca-praperadilan Wali Kota Makasar Ilham Arief Sirajuddin dan mantan Ketua Umum PSSI, La Nyalla Mattalitti. Namun kedua kasus itu tidak bisa jadi patokan. Menurut dia, prosesnya telah salah. "Kalau dahulu saya perampok, apakah anak saya juga perampok? Kalau tahu ada seseuatu yang tidak benar, perbaikilah, jangan ulangi," kata pengacara Setya Novanto itu.