TEMPO.CO, Jakarta - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto dinilai bisa gugur. Pakar hukum acara pidana, Abdul Ficar Hadjar, menyatakan hasil pemeriksaan terhadap hakim tunggal praperadilan Cepi Iskandar bisa dijadikan pertimbangan oleh Mahkamah Agung.
Abdul berujar, memang Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 menyebutkan tidak boleh lagi ada upaya hukum pasca-putusan praperadilan. Namun, menurut dia, sifat hukum itu berkembang dan tidak kaku.
Baca: Curhat Laode Syarif Soal Praperadilan Setya Novanto ke Iluni
"Kalau penyelidikan oleh Badan Pengawas MA menemukan bukti hakim tidak profesional, melawan hukum, bahkan menerima suap, terbuka kemungkinan untuk PK (peninjauan kembali) atau diuji lagi," kata Abdul saat dihubungi Tempo, Kamis, 5 Oktober 2017.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu memenangkan gugatan praperadilan yang diajukan tersangka kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), Setya Novanto. Atas putusan tersebut, status tersangka yang melekat pada Setya Novanto selama lima bulan dinyatakan tidak sah.
Baca: Koalisi Anti Korupsi Laporkan Cepi Iskandar ke Mahkamah Agung
Setya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 17 Juli 2017. KPK hingga hari ini telah menetapkan lima tersangka dalam kasus itu, yaitu Irman, Sugiharto, Andi Agustinus Narogog, Markus Nari, dan Anang Sugiana Sudihardjo. Dari kelima tersangka, baru Irman dan Sugiharto yang sudah berstatus terpidana.
Setya dan lima tersangka itu disebut terlibat kasus korupsi e-KTP yang mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun. Nilai kerugian tersebut hampir mencapai separuh dari nilai paket pengadaan e-KTP di Kementerian Dalam Negeri sekitar Rp 5,9 triliun.
Baca: Idrus Marham: Setya Novanto Kembali Pimpin Golkar
Pasca-putusan praperadilan, Badan Pengawas Mahkamah Agung terus melakukan penyelidikan dan menerima setiap gugatan dari masyarakat atas putusan hakim Cepi. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi yang terdiri atas Indonesia Corruption Watch (ICW), Madrasah Antikorupsi Muhammadiyah, dan Tangerang Public Transparency Watch pun ikut mengadukan hakim Cepi ke Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Kamis, 5 Oktober 2017. "Memang 'sesuatu' dalam putusan itu yang saat ini harus dicari," ujar Abdul.
Dihubungi secara terpisah, juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, menyatakan PK atas putusan praperadilan hanya bisa dilakukan terpidana dan ahli waris. "Tidak ada hak tersangka di situ," ucapnya. Undang-Undang Mahkamah Agung, tutur Suhadi, juga tidak membolehkan adanya kasasi untuk putusan praperadilan. "Dengan demikian, itu putusan akhir.".
Namun Suhadi menyebut kemungkinan penetapan kembali sebagai tersangka masih ada. "Jadi satu-satunya jalan ya disidik lagi, cari dua alat bukti lagi. Peraturan Mahkamah Agung memungkinkan putusan praperadilan batal kalau memang ada alat bukti lain," kata Suhadi.
Keterangan tersebut menguatkan pendapat Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Abdullah. Dia mengatakan putusan gugatan praperadilan Setya Novanto tetap tidak menghilangkan perbuatan pidana yang disangkakan. Menurut dia, praperadilan hanya menentukan keabsahan penetapan tersangka.