Menko Polhukam Wiranto menjawab pertanyaan awak media usai menggelar pertemuan tertutup dengan Duta Besar Spanyol untuk Indonesia Jose Maria Matres Manso, di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, 21 Juni 2017. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyatakan saat ini institusi Tentara Nasional Indonesia dinilai masih mempunyai beban seputar pelanggaran hak asasi manusia. Ia menegaskan, TNI, sebagai instrumen pemerintah, tidak bisa dinilai dari kinerjanya di era atau situasi yang sudah berbeda.
Ia beralasan tidak adil bila ada pihak yang menilai kinerja TNI di masa lalu dengan situasi saat ini yang sudah berbeda. "Jangan sampai men-justifikasi kegiatan pendahulu kita. Situasi politik dan hukum berbeda," kata Wiranto dalam acara silaturahmi purnawirawan TNI di Markas Besar TNI, Jakarta, Jumat, 22 September 2017.
Mantan Panglima ABRI itu mencontohkan aksi penembakan misterius (petrus) yang terjadi pada 1980-an. Menurut dia, aksi tersebut pada masa itu mendapat apresiasi. Bahkan secara tidak langsung cara itu disebut-sebut ditiru pemerintah Filipina yang saat ini sedang berperang melawan pengedar narkoba.
Wiranto menjelaskan, saat Presiden Filipina Rodrigo Duterte bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, penembakan terhadap pengedar narkoba disebut meniru kebijakan Presiden Soeharto. "Dia melihat di sini, diterapkan di Filipina," kata Wiranto.
Menanggapi tuntutan pegiat HAM ihwal kasus petrus, Wiranto menyatakan saat ini sulit mengusut aksi itu. Sebab, semua pihak yang diduga terlibat sudah tidak ada. "Silakan diusut, tidak ada jawaban juga," ucapnya.
Lebih lanjut, Wiranto mengapresiasi upaya yang sudah dilakukan Panglima TNI Gatot Nurmantyo saat ini. Menurut dia, hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting tahun lalu yang menyebut TNI adalah lembaga negara paling dipercaya masyarakat tak lepas dari peran para penglima TNI sebelumnya. "Dari mulai dikecam, dihina, hingga bisa menjadi kepercayaan masyarakat," katanya.