Suasana audiensi Pansus Hak Angket KPK bersama LSM Koar Parlemen dan Mahasiswa Trisakti di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 26 Juli 2017. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Ginting membantah temuan Panitia Khusus atau Pansus Hak Angket KPK yang menganggap KPK menjadi lembaga yang tidak bersedia diawasi. Menurut Miko, KPK telah mendapatkan pengawasan langsung di bawah sistem peradilan pidana.
"Jadi secara hukum, mekanisme pengawasan terhadap KPK itu ada pada sistem praperadilan dan pemeriksaan pokok perkara," kata Miko dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Hak Angket di Jakarta, Minggu, 10 September 2017.
Sebelumnya, Pansus Hak Angket mengumumkan 11 temuan soal KPK. Salah satu temuan dari Pansus adalah KPK bergerak menjadikan dirinya sebagai lembaga superbody yang tidak siap dan tidak bersedia dikritik dan diawasi.
Miko menyebut ketiadaan wewenang KPK untuk mencabut status tersangka, merupakan bukti adanya pengawasan melalui mekanisme peradilan. "Semua hasil penyidikan, dibuktikan langsung di pengadilan, tapi selama ini memang terbukti. Artinya proses penyidikan oleh KPK sudah benar," ujarnya.
Terkait tata kelola lembaga dan anggaran, kata Miko, KPK juga diawasi oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Menurut dia, KPK juga selalu mendapatkan opini Wajar tanpa Pengacualian (WRP) dari lembaga pemeriksa keuangan tersebut setiap tahunnya.
Miko mengatakan jika pengawasan di level personel di KPK juga berjalan dengan adanya pengawas internal. Di level pimpinan KPK, ujarnya, ada Komite Etik. "Jadi sebenarnya untuk sumber daya manusia pun ada pengawasan juga," kata Miko.
Beberapa pimpinan, kata Miko, sudah diberikan rekomendasi oleh komite etik. Salah satunya adalah mantan ketua KPK, Abraham Samad. "Bahkan Novel Baswedan pun beberapa kali mendapat teguran dari pengawas internal. Jadi sistem pengawasan internal dan komite etik sebenarnya sudah cukup efektif untuk mengawasi kinerja personel KPK," kata Miko menepis temuan Pansus Hak Angket KPK.
Pakar hukum UGM Zainal Arifin Mochtar menilai putusan MK yang akhirnya memenangkan pasangan nomor urut 02 Prabowo-Gibran telah menyisakan pekerjaan rumah cukup berat.