Kasus BLBI, Eks Menteri BUMN Laksamana Sukardi Ditanya Soal MSAA
Rabu, 26 Juli 2017 17:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi mengonfirmasi proses penerbitan surat perjanjian pembayaran secara tunai dengan penyerahan aset, yang disebut Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) kepada Menteri BUMN 1999-2000 Laksamana Sukardi. Hari ini, Rabu, 26 Juli 2017, KPK memeriksa Laksamana Sukardi sebagai saksi dalam penyidikan dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk tersangka Syafruddin Arsyad Tumenggung.
"MSAA ini kan dibuat tahun 1998, waktu itu, kita mengalami krisis ekonomi dan sistem peradilan juga masih kacau. Jadi secara politis diputuskan out of court settlement makanya dibuat MSAA," kata Laksamana Sukardi seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu, 26 Juli 2017.
Baca juga: Kasus BLBI, KPK Akan Panggil Ulang Sjamsul Nursalim
Ia menjelaskan, MSAA dibuat saat Presiden ke-3 BJ Habibie, dan kemudian dilaksanakan sampai ada Undang-Undang tentang Program Pembangunan Nasional agar MSAA itu dilaksanakan secara konsisten. Selanjutnya, kata dia, ada TAP MPR yang menyatakan Presiden ditugaskan untuk melaksanakan MSAA secara konsisten. "Karena kalau tidak konsisten, tidak ada kepastian hukum, tidak ada penjualan-penjualan aset di BPPN dan ekonomi 'berantakan'," kata Laksamana Sukardi.
Menurut dia, pada zaman Orde Baru banyak kondisi kredit dan perjanjian kontrak yang bodong sehingga sampai pada akhirnya saat Presiden ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri dibuat kebijakan percepatan penjualan aset, dan utang dari IMF juga dibayar kembali.
"Bagi obligor-obligor yang telah memenuhi MSAA harus diberikan kepastian hukum. Itu adalah mandat dari MPR. Zaman dulu bisa dibayangkan, opsinya adalah memenjarakan semua bankir. BLBI Rp 400 triliun, tetapi yang diserahkan ke BPPN hanya Rp144 triliun," tuturnya.
Simak pula: Kasus Korupsi BLBI, KPK Bakal Jerat dengan Pidana Korporasi
Dalam kasus ini, KPK menetapkan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka. Syafruddin diduga mengusulkan pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia pada 2004. Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman BLBI.
Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp 1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya, ada kewajiban BDNI sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitor yang telah Menyelesaikan Kewajibannya. Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Lihat juga: Pemerintah Bentuk Tim Khusus Percepatan Penagihan Dana BLBI
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
ANTARA