Wakil Kepala Polri (Wakapolri) yang baru Komisaris Jenderal Syafruddin saat mengikuti upacara pelantikan di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, 10 September 2016. Mantan Kepala Lembaga Pendidikan Polri (Kalemdikpol) Komisaris Jenderal Syafruddin resmi dilantik sebagai Wakapolri melalui Surat Keputusan Nomor 917/IX/2016. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia Komisaris Jenderal Syafruddin mengatakan pihaknya siap bertemu dengan Pansus Angket Komisi Pemberantasan Korupsi Dewan Perwakilan Rakyat untuk membahas persoalan jemput paksa mantan Anggota DPR Miryam S. Haryani.
"Itu ada mekanismenya. DPR ada mekanismenya, Polri ada mekanismenya, KPK- lembaga independen- juga ada mekanismenya. Kita akan bahas supaya tidak terjadi miss komunikasi, supaya tidak kegaduhan politik," kata Syafruddin di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Jumat, 23 Juni 2017.
Namun Syafruddin belum bisa memastikan kapan prtemuan itu akan terlaksana. Polri, kata dia, masih menunggu jadwal dari Pansus Angket KPK. "Nanti tunggu pemanggilan dari DPR. Kalau dipanggil oleh DPR kami pasti datang dan yang sudah ditunjuk pemimpin timnya saya," katanya.
Sebelumnya, Pansus Hak Angket KPK berniat mendatangkan Miryam untuk mengklarifikasi pernyataannya yang menyebutkan mendapat tekanan dari Anggota Komisi III DPR untuk mencabut BAP di KPK. Miryam merupakan tersangka kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP.
Melihat status Miryam sebagai tersangka di KPK, KPK tidak mengizinkan Miryam untuk datang ke Pansus Angket KPK. Kapolri Jenderal Tito Karnavian juga berpendapat pemanggilan paksa atau penjemputan paksa tidak bisa dilakukan.
Menurut Tito pihaknya sudah melakukan diskusi internal bersama beberapa pakar terkait permintaan DPR untuk menjemput paksa Miryam.
"Acaranya apakah menghadirkan paksa berarti semacam surat perintah membawa atau surat perintah penangkapan dibawa dan dihadapkan? Nah, acara selama ini di Polri adalah acara KUHAP. KUHAP itu upaya paksa penangkapan, apalagi penyanderaan. Penyanderaan sama saja dengan penahanan, itu acaranya harus projustitia, artinya dalam rangka untuk peradilan," kata Tito beberapa waktu lalu.
Namun, Tito membuka peluang untuk berdiakusi terkait intepretasi aturan-aturan terkait Pansus Hak Angket , termasuk kewenangan Polri yang diatur dalam undang-undang.