Komite I DPD: RUU Jabatan Hakim Harus Mampu Ubah Citra
Rabu, 7 Juni 2017 16:30 WIB
INFO NASIONAL - “Untuk mengupayakan independensi judisial dalam segala aspek, baik personal, fungsional, maupun institusional bagi pelayanan keadilan terhadap masyarakat, perlu aturan dalam RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang Jabatan Hakim, yang komprehensif,” ujar Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Akhmad Muqowam di ruang rapat Komite I, Rabu, 7 Juni 2017.
Hal tersebut diungkapkan saat rapat dengar pendapat Komite I DPD dengan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA) Basuki Rekso Wibowo serta Koordinator Tim Kajian Advokasi RUU Jabatan Hakim Budi Suhariyanto. RDP digelar dalam rangka penyusunan pandangan terhadap RUU Jabatan Hakim.
Selain membahas keselamatan hakim, Basuki membicarakan keresahan hakim terkait dengan batasan usia pensiun yang diatur dalam RUU tersebut. Saat ini, batas usia pensiun hakim 70 tahun, sedangkan berdasarkan RUU itu 60-65 tahun. “Selama tujuh tahun, kami tidak melaksanakan rekrutmen hakim. Pasal 51 ayat 2 huruf c RUU Jabatan hakim ini menyatakan pemberhentian hakim secara hormat karena telah berusia 60 tahun bagi hakim pertama, 63 tahun bagi hakim tinggi, dan 65 tahun bagi hukum agung. Efeknya, akan terjadi kekosongan jabatan hakim. Bahkan setelah direkrut, hakim harus mendapatkan diklat (pendidikan dan pelatihan) selama dua tahun,” ujarnya.
Hal lain yang menjadi sorotan adalah Pasal 31 ayat 1, yang menyebutkan hakim agung memegang jabatan selama lima tahun. Menurut Basuki, jika merujuk putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2016, periodesasi jabatan hakim agung ini tidak diperlukan. “Periodesasi hakim dan hakim agung belum pernah ada di negara mana pun, kecuali hakim ad hoc yang sifatnya tergantung pada situasi tertentu,” katanya.
Sedangkan Budi menyoroti kedudukan hakim sebagai pejabat negara. “Bagi Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan Tim Advokasi RUU Jabatan Hakim, RUU ini merupakan kabar menggembirakan bagi hakim dalam hal status dan kedudukan jabatan,” ucapnya. Selama ini, hakim berstatus sebagai pejabat negara, tapi norma pejabat negara itu tumpang tindih dan parsial dengan pengaturan aparatur sipil negara.
“Padahal jabatan hakim sangat riskan karena terkait dengan independensi hakim dalam mengadili perkara, yang mungkin ada intervensi dari atasan atau pihak mana pun. Dulu, ketika zaman orde lama, malah lebih parah lagi karena banyak aturan yang mereduksi kinerja hakim. Atas nama revolusi, presiden bisa mengambil alih kebijakan peradilan,” tuturnya.
Budi menambahkan, jika ada potensi penyimpangan di peradilan, MA memiliki badan pengawasan, yang bertugas melakukan pembinaan dan penindakan bagi penyimpangan perilaku hakim dan lembaga ad hoc, seperti Komisi Yudisial, yang menampung laporan atau pengaduan dari masyarakat.
Adapun Akhmad berharap pandangan Komite I terhadap RUU Jabatan Hakim bisa melengkapi dan secara komprehensif memenuhi segala unsur dalam jabatan hakim. “Sehingga kinerja hakim juga bisa lebih independen dan keadilan terwujud dalam setiap persidangan,” ujarnya. (*)