TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Bivitri Susanti, mengatakan pengembalian duit aliran dana korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tidak menghilangkan pidana korupsi. Menurut dia, pengembalian duit tersebut tidak menjadi alasan untuk memaafkan atau pembenaran terhadap seseorang yang melakukan pidana.
"Mengembalikan uang tidak menimbulkan konsekuensi hukum. Hukum pidana tetap berlaku kalau seseorang sudah melakukan suatu tindak pidana," ucap Bivitri melalui pesan pendek di Jakarta, Kamis, 9 Maret 2017.
Bivitri menilai pengembalian duit oleh beberapa pihak untuk menjadi salah satu pertimbangan hakim ketika menjatuhkan hukuman. "Ini pun nanti terserah hakim. Yang jelas, tidak ada konsekuensi hukum untuk mereka yang mengembalikan uang," ujar Bivitri.
Sebanyak 14 saksi mengembalikan dana hasil korupsi proyek pengadaan e-KTP tahun 2011-2012 ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Total uang yang dikembalikan 14 saksi itu mencapai Rp 30 miliar. Sebagian saksi itu adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menjabat saat peristiwa korupsi berlangsung. KPK tak merinci nama-nama tersebut.
KPK juga menerima pengembalian uang dari lima perusahaan dan satu konsorsium. Jumlah uang yang dikumpulkan dari korporasi ini mencapai Rp 220 miliar. Semua uang itu diserahkan ke KPK melalui transfer ke rekening khusus penyitaan.
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Yenti Garnasih, menuturkan pengembalian uang tidak menghilangkan unsur pidana korupsi mereka. "Apalagi sudah mengembalikan setelah sekian lama pula. Artinya, mereka sudah terlibat korupsi," kata Yenti.
Ia menyarankan KPK tetap memproses pihak-pihak yang mengembalikan duit tersebut. Sebab, ini bisa jadi peluang koruptor mengembalikan hasil korupsinya ketika tindakannya terendus KPK. "Meski sudah mengembalikan barang yang dicuri, yang bersangkutan tetap proses. Nanti orang akan ramai-ramai korupsi kalau ketahuan bisa mengembalikan tanpa proses," ucap Yenti.