Wakil Ketua DPR, Fadli Zon mengklarifikasi beredarnya salinan surat permohonan fasilitas ke KJRI New York di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 28 Juni 2016. Ia mengaku tidak pernah meminta Sekretariat Jenderal DPR untuk membuat surat permohonan penyediaan fasilitas dan pendampingan tersebut. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Fadli Zon mengkritik tindakan Kepolisian RI terkait pelarangan aksi unjuk rasa pada 11 Februari 2017. Menurut dia, kegiatan aksi oleh kelompok organisasi massa Islam hanya bersifat pemberitahuan.
"Sekarang ini tidak ada lagi rezim perizinan dari pihak kepolisian, yang ada adalah pemberitahuan. Jadi saya kira tidak perlu ada izin," kata Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 9 Februari 2017.
Ia menjelaskan aksi unjuk rasa adalah bagian dari negara demokrasi. Asalkan, pengunjuk rasa mengikuti ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan waktu, jam, ketertiban, dan tidak merusak sarana dan prasarana publik. "Kita itu berada di era demokrasi," ujar dia.
Rencana aksi 112 tampaknya bakal terjadi dan mengharuskan aparat keamanan turun tangan. Kepolisian Daerah Metro Jaya melarang unjuk rasa yang dikemas dengan nama long march 112 dari Tugu Monas ke Bundaran Hotel Indonesia itu.
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto memperbolehkan dengan menaati peraturan. Dia hanya mengingatkan penanggung jawab aksi harus mengantongi persetujuan dari kepolisian.
Menurut dia, kepolisian akan mempertimbangkan kepentingan lain jika aksi tersebut mengganggu. "Tentu mereka bisa melarang. Ini berarti aksi tidak bisa dilakukan," kata dia.
Meskipun begitu, Fadli tak menyetujui aksi tersebut jika berkaitan dengan Pilkada DKI Jakarta. "Saya kira (aksi 112) kan bukan paslon (pasangan calon), atau misalnya orang itu berdzikir, jalan sehat, berkumpul tapi tidak merusak atau terganggu. Mestinya tidak ada masalah," kata Fadli.