Sejumlah surat kabar dari berbagai media di Inggris menampilkan sosok Presiden baru Amerika Serikat, Donald Trump usai memenangkan pemilu Amerika di London, Inggris, 10 November, 2016. AP Photo
TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis dari Purple Code Dhyta Caturani menganggap pemerintah tidak memiliki mekanisme yang jelas dalam hal pemblokiran situs-situs di internet. Mekanisme penutupan yang dilakukan pemerintah hanya berdasarkan penggunaan kata kunci dan laporan.
"Mekanismenya belum jelas dan transparan," kata dia di acara Kelas Muda Demokrasi Digital, Jakarta, Sabtu, 14 Januari 2017. Menurut Dhyta, upaya pemblokiran terhadap situs yang dianggap berbahaya tidak akan efektif.
Lebih lanjut, ia menyarankan hal yang mestinya dilakukan pemerintah ialah membangun literasi dan mendorong kompetisi di level wacana. "Saya tidak sepakat blokir (situs) karena akan muncul lagi," kata Dhyta.
Pemerintah sebelumnya berencana menertibkan situs-situs yang dianggap menyebar berita bohong (hoax). Kementerian Komunikasi dan Informasi tengah menyiapkan tim untuk mencari portal-portal berita liar tersebut. Data dari Dewan Pers, ada sekitar 40 ribu portal berita.
Ke depan, pihak yang ingin membuat portal berita diminta mengurus persyaratan layaknya perusahaan media lainnya. Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kominfo memblokir 11 situs yang bertemakan keislaman. Blokir dilakukan pada akhir Desember 2016.
Pengurus Aliansi Jurnalis Indonesia Ario Wisanggeni justru sepakat dengan pemblokiran. Meski demikian, ia mengatakan, blokir terhadap situs tertentu harus mempunyai alasan yang kuat. Salah satu alasan itu ialah apakah suatu situs telah menyebarkan kebencian dan mengajak kekerasan. "Jangan memblokir sebelum memperbaiki mekanismenya," ucap Ario.