TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, menyatakan dinasti politik berpotensi besar menimbulkan perilaku korupsi.
"Sejak 2004, sebanyak 350 kepala daerah tercatat tersangkut masalah korupsi. Sebanyak 78 orang di antaranya ditangkap tangan oleh KPK," kata Adnan dalam diskusi mengenai dinasti politik di Gado-Gado Boplo, Jakarta, Sabtu, 7 Januari 2017.
Terakhir, pada 30 Desember lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Bupati Klaten Sri Hartini dalam operasi tangkap tangan (OTT). Orang nomor satu di Klaten itu juga telah ditetapkan sebagai penerima suap.
Selain Sri Hartini, ada tujuh orang lain yang turut ditangkap komisi antirasuah. Empat orang di antaranya pegawai negeri dan tiga orang lainnya dari swasta. Operasi tangkap tangan tersebut diduga berkaitan dengan dugaan adanya setoran dari para pegawai negeri berkaitan dengan promosi jabatan.
Suami Sri Hartini adalah Haryanto WIbowo. Haryanto menjabat sebagai Bupati Klaten periode 2000-2005.
Menurut Adnan, dinasti politik berpotensi besar menimbulkan perilaku korupsi. "Dinasti politik cenderung melahirkan korupsi daripada politisi lain yang berkembang tanpa melibatkan keluarga," kata dia.
Pemerintah telah mengatur pencegahan berdirinya dinasti politik melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang. Dalam aturan tersebut, orang yang memiliki ikatan perkawinan dan darah lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan inkumben tidak boleh menjabat kecuali jeda satu periode.
Koordinator Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah, Robert Endi Jaweng, mengatakan dinasti politik dalam pemerintahan daerah tidak membawa manfaat. Kemajuan daerah menjadi taruhannya. "Tidak ada satu pun daerah yang maju dengan dipimpin dinasti politik," kata Endi.