Ini 9 Modus Baru Teroris Merekrut 'Pengantin'
Editor
Rina Widisatuti
Jumat, 16 Desember 2016 14:13 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) terus mengembangkan jaringan dan pengaruhnya dengan berbagai cara. Salah satunya dilakukan tersangka teroris Bekasi, Muhammad Nur Solihin, dengan menikahi Dian Yulia Novi, yang baru dikenal tiga bulan lewat media sosial. Dian disiapkan menjadi “pengantin” atau pelaku bom bunuh diri.
Selain melalui jalur pernikahan, ada beberapa cara yang digunakan kelompok teroris yang terafiliasi dengan ISIS untuk merekrut para "pengantin". Berikut ini cara baru dalam perekrutan calon pelaku bom bunuh diri.
1. Mendirikan sekolah pendidikan anak usia dini untuk mendidik anak menjadi calon mujahid. Tentu saja tidak semua sekolah yang biasanya disingkat PAUD itu mengajarkan kekerasan.
2. Melakukan radikalisasi di kamp pengungsi Rohingya. Pengungsi asal Myanmar ini tersebar di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Mereka merupakan penduduk muslim di negara bagian Rakhine yang dikejar-kejar militer Myanmar.
3. Membentuk rumah singgah bagi keluarga tersangka teroris. Ini semacam tempat penampungan bagi keluarga terduga teroris yang ditangkap polisi. Tak sedikit rumah singgah ini mengundang simpatik warga sekitar.
4. Memberangkatkan perempuan perawan dan janda ke Suriah atau ke Filipina selatan untuk dinikahkan dengan jihadis. Sandi yang digunakan “khitan massal”.
5. Menyiarkan paham radikal lewat radio. Selain media sosial, media radio dianggap afektif karena jangkauannya bisa luas.
6. Menggelar pelatihan militer untuk menyiapkan jihadis yang siap perang. Pelatihan dilakukan mulai pukul 03.00 sore hingga subuh, biasanya lokasinya di hutan.
7. Mendekati tokoh Islam moderat untuk memperluas dukungan.
8. Masuk ke asrama polisi untuk menyebarkan paham takfiri atau daulah.
Baca: Kapolri Bersedia Dicopot Jika Kasus Bom Bekasi Terbukti Rekayasa
Peneliti pola perekrutan teroris, Al Chaidar, menyebutkan metode pengajaran di sekolah radikal itu mirip pelajaran di sekolah umum, seperti bernyanyi. Namun bukan lagu-lagu nasional yang mereka pelajari, melainkan lagu-lagu yang diubah liriknya dengan kalimat intoleransi dan menghina keyakinan agama lain. "Harapannya agar intoleransi tertanam sejak kecil," ucapnya seperti dikutip dari Koran Tempo edisi Jumat, 16 Desember 2016.
Pengajaran radikalisme juga menyasar panti asuhan yang dihuni anak-anak usia hingga belasan tahun. Pola seperti ini pernah ditemukan polisi di kawasan Jonggol, Jawa Barat. Ada pula pendidikan radikal yang dilakukan dengan mengangkat anak. Menurut Al Chaidar, ia pernah menemui salah satu anggota kelompok ISIS yang memiliki anak angkat untuk dijadikan teroris.
Pengajaran memegang senjata pun pernah dilakukan kepada anak-anak usia 4 tahun di sekolah Indonesia yang berada di Suriah. "Video tentang pengajaran itu sempat beredar beberapa waktu lalu,” kata Chaidar.
Baca juga: Peran 7 Terduga Teroris yang Akan Mengebom Istana Presiden
Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan timnya sempat mendengar kabar ada pola rekrutmen menikahi para wanita untuk diambil bayinya. Polisi, kata dia, masih menggali informasi tersebut. "Kami sedang mendalaminya," ujarnya.
EKO ARI | ELIK | BERBAGAI SUMBER