Setara Institute Pertanyakan Keberpihakan HAM di Nawacita
Editor
Budi Riza
Jumat, 9 Desember 2016 23:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia sedunia, Ketua Umum Setara Institute, Hendardi, mengatakan pemerintah masih mengabaikan nawacita yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo dalam bidang legislasi.
Menurut Hendardi, pemerintah giat melakukan deregulasi pada bidang ekonomi, namun abai memastikan pengawasan pada produk legislasi yang berpotensi merampas HAM warga negar.
Hendardi mempertanyakan revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dianggap justru akan membuat masyarakat rentan dikriminalisasi. Revisi ini juga dinilai mengancam kebebasan berekspresi. Kemudian, soal revisi UU Terorisme yang berencana mengakomodasi TNI sebagai aktor yang akan menangani penegakan hukum, juga dianggap rentan pelanggaran HAM.
“Di sisi lain, TNI dibiarkan menikmati privilege atau keistimewaan tidak diadili pada peradilan umum, meski anggota TNI melakukan tindak pidana umum,” kata Hendardi. Dia menilai ini sebagai bentuk pelembagaan pelanggaran asas hak kesamaan di muka hukum atau equality before the law. Padahal, kata Hendardi, janji merevisi UU Peradilan Militer juga tercantum dalam Nawacita.
Di tengah absennya pemerintah dalam memajukan perlindungan hak asasi warga negara, Herdardi menilai lembaga dibidang HAM justru mengalami delegitimasi dari publik. Komnas HAM, misalnya, dinilai gagal menjalankan Paris Principles karena terindikasi gagal mengelola akuntabilitas keuangan. Selain itu, komisi ini juga dianggap terjebak pada agenda rutin seremonial tanpa memberikan dampak yang nyata pada perlindungan HAM.
Sementara, Komisi Perlindungan Anak Indonesia justru dianggap semakin menunjukkan konservatisme dalam perspektif dan pembelaannya pada hak-hak anak Indonesia. Menurut Hendardi, populisme yang dipupuk melalui liputan media menjadi orientasi kerja KPAI, meski terkesan ini menimbulkan efek psikologis yang kurang menguntungkan bagi korban.
Hendardi menilai hanya Komnas Perempuan masih tetap menjadi instrumen cukup efektif bagi advokasi dan pemajuan hak-hak perempuan meskipun dengan segala keterbatasan mandatnya. Menurut Hendardi, Komnas Perempuan dinilai mampu fokus pada sejumlah terobosan dan intervensi legislasi, yang kondusif bagi penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Secara umum, Hendardi menyimpulkan pemerintahan ini tidak memiliki beleid yang jelas tentang agenda hak asasi manusia. “Pemerintah belum menunjukkan keberpihakan politik pada pengungkapan kasus masa lalu, penanganan kasus masa kini, dan politik legislasi yang kondusif untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa yang akan datang,” kata Hendardi.
Menurut Hendardi, Rencana Aksi Nasional HAM, yang diklaim sebagai acuan pembangunan bidang HAM, hanyalah dokumen perencanaan sebagai dasar untuk memperoleh anggaran tanpa mampu memberikan keadilan bagi warga.
LARISSA HUDA