Kisah Penjual Sayur yang Otaki Pengeboman Gereja Samarinda
Editor
Dewi Rina Cahyani
Selasa, 29 November 2016 15:21 WIB
TEMPO.CO, Samarinda - Joko Sugito, satu dari tujuh tersangka pelaku bom Gereja Oikumene, Samarinda, Kalimantan Timur dikenal warga sekitar sebagai seorang penjaja sayur. Menggunakan sepeda motor, ia selalu berkeliling di luar kompleks perumahan tempat tinggalnya, Perum Loa Janan Indah Blok QQ No.13 RT 01 Kelurahan Tani Aman, Kecamatan Loa Janan Ilir, Kota Samarinda.
Polisi mengungkap Joko Sugito adalah amir JAD untuk Kota Samarinda. Ia menjadi otak pengeboman Gereja Oikumene yang merenggut nyawa balita cantik Intan Olivia Banjarnahor, 2,5 tahun serta melukai tiga balita lainnya. Joko Sugito sempat kabur bersama asistennya, Ridho Pratama Putra. Ia ditangkap dalam pelariannya di Kabupaten Penajam Paser Utara dua hari setelah pengeboman.
Baca: 7 Tersangka Bom Gereja di Samarinda Terhubung dengan ISIS
Saat berkunjung ke rumah Joko, suasana rumah sepi. Pintu rumah berwarna hijau itu terkunci rapat. Tiga unit sepeda motor terparkir di halaman. "Ada kok istrinya di dalam sama anaknya," kata Muriyati, tetangga Joko Sugito di perumahan itu.
Rumah Muriyati atau yang dikenal Mamak Daus itu hanya dipisah tembok belakang. Dapur rumah Joko dan rumahnya saling membelakangi. Ia mengaku sejak lama sudah tidak mengetahui aktifitas tetangganya itu. Selama ini Muriyati mengaku Joko Sugito memang sangat tertutup.
Baca: Kapolda Kaltim: Ada Pelatihan Merakit Sebelum Peledakan Bom
"Saya setiap hari beli sayur sama dia, setiap jam 07.30 Wita. Dia tak mau bersentuhan tangan, jadi kalau bayar tangan saya di atas menjatuhkan uang ke tangannya," kata dia.
Muriyati menyadari jika keluarga Joko Sugito memang berbeda aliran dengan warga di sekelilingnya. Sejak menggeluti aliran JAD, perilaku sekeluarganya berubah. "Tak mau bergabung mungkin itu tadi karena beda," kata dia.
Tepat di sebelah rumah Joko Sugito, adalah rumah keluarga Nyoman. Rumah keduanya hanya dipisahkan dengan dinding rumah. Joko Sugito dan istrinya Istiqomah, memiliki tiga anak. Anak pertama Buya, Adam turut diangkut Densus 88 karena terkait pengeboman gereja. "Saya yang asuh Adam itu sejak kecil, tapi sejak mereka berubah sudah tak lagi," kata Bu Nyoman.
Menurut dia, perubahan keluarga ini terjadi sekitar 10 tahun lalu. Keluarga ini mulai tinggal sejak 1997 di perumahan bersamaan dengan Nyoman.
Sejak aktif di organisasi, keluarga ini berubah. Mereka sudah tak mau lagi berkumpul dengan warga sekitar perumahan. "Anak-anaknya sudah tak sekolah lagi, nggak tau mengapa," kata dia.
Di lingkungan RT 01, berdiri MAsjid Al Jamil. Lokasinya persis di depan rumah Ketua RT. Warga menyatakan Bapak Buya, panggilan Joko, sama sekali tak pernah menjalankan ibadah di masjid itu. Begitu pula Istiqomah, istrinya tak pernah aktif di setiap kelompok Yasinan di kampung.
Selain sebagai penjaja sayur, Joko Sugito bersama istrinya diketahui pernah bekerja di perusahaan kayu lapis, PT Kalamur (Kayu Lapis Murni) di Loa Buah, Samarinda. Tapi sejak 2006 ia mengundurkan diri.
Cerita ini diungkapkan Putu Bidiyasa rekan kerja yang juga tetangga Joko Sugito. "Saya sama-sama keluarnya tahun 2006 lalu," kata dia.
Di perusahaan kayu lapis itu, Joko Sugito dan Istiqomah bekerja di divisi yang berbeda. Joko Sugito di Divisi PPC sementara istrinya bagian Glue atau pengeleman.
Sejak keluar dari perusahaan itu keduanya sudah jarang berkomunikasi. Putu Budiyasa sangat memahaminya, terlebih perilaku Joko Sugito sejak bergabung dengan aliran tertentu itu. "Jangankan kita yang berbeda agama, sesama muslim di tetangganya saja sangat tertutup," kata dia.
Joko Sugito ditangkap dan dibawa tim Densus 88 ke Jakarta. Bersama dia, enam tersangka lain termasuk putranya Adam juga turut menjadi tersangka kasus pengeboman Gereja Oikumene, Samarinda. Sebagai pelaku pengeboman Juhanda alias Aceng.
FIRMAN HIDAYAT