Pemimpin Front Pembela Islam, Muhammad Rizieq Shihab saat tiba di kantor sementara Badan Reserse Kriminal Polri di Gambir, Jakarta, 23 November 2016. Habib Rizieq diperiksa sebagai ahli dari pihak pelapor terkait kasus dugaan penistaan agama yang disangkakan kepada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. TEMPO/M. Iqbal Ichsan
TEMPO.CO, Jakarta - Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab selesai menjalani pemeriksaan sebagai ahli agama dalam kasus dugaan penistaan agama dengan terlapor Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Rabu siang, 23 November 2016.
Tak seperti saat pemeriksaan di tahap penyelidikan lalu, kali ini Rizieq hanya dimintai keterangan sekitar 3,5 jam. "BAP (berita acara pemeriksaan) hari ini adalah BAP projustitia, artinya BAP sudah dalam tingkat penyidikan," ujar Rizieq.
Rizieq mengaku membawa bukti lengkap dalam pemeriksaan kali ini. "Di samping buku yang ditulis tim Ahok dengan judul Merubah Indonesia, kami membawa beberapa rekaman wawancara dan pidato Ahok yang menistakan Al-Quran di Surat Al-Maidah ayat 51," tutur Rizieq.
Menurut dia, Ahok bukan hanya menyinggung perihal Surat Al-Maidah di Kepulauan Seribu, tapi juga dalam beberapa kesempatan. Ada rekaman lain yang membuktikan Ahok punya niat menistakan Al-Quran. "Itu jadi bukti Ahok menistakan Al-Quran secara berulang kali, berarti ada niat, bahkan dilakukan secara sistematis."
Menurut dia, Ahok pernah menuturkan hal yang dinilainya menistakan agama itu di salah satu acara partai pendukung Ahok. Ada pula di Balai Kota dan saat diwawancarai. "Dan beberapa tempat lain," katanya.
Setelah diperiksa, Rizieq kembali meminta kepolisian menahan Ahok sebagai tersangka. Menurut dia, tersangka-tersangka dalam kasus penistaan agama yang melanggar Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana harus ditahan. "Tak ada satu pun tersangka di Indonesia dalam kaitannya Pasal 156a KUHP yang tidak ditahan, semua ditahan."
Rizieq mencontohkan kasus Permadi, Arswendo Atmowiloto, dan Yusman Roy. "Kalau Ahok tidak ditahan, ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Republik Indonesia. Kami tetap pada prinsip pertama, harus ditahan. Sekali lagi, harus ditahan."