Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Suhardi Alius usai Rapat Koordinasi Khusus di Kemenkopolhukam, Jakarta, 22 Agustus 2016. TEMPO/Yohanes Paskalis
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Suhardi Alius menilai perlu ada perhatian bagi warga negara Indonesia yang kembali dari negara konflik. Ia mengatakan upaya pencegahan terorisme mesti dimulai dari wilayah hulu. "Kami selalu di hilir (penindakan) selama ini," katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 28 Oktober 2016.
Suhardi menjelaskan upaya memerangi terorisme tak melulu dilakukan dengan cara-cara penindakan. BNPT bersama dengan 17 kementerian dan lembaga mulai melakukan pendekatan preventif. Sebagai contoh, pihaknya kini melibatkan para mantan komandan jihad yang sudah bertaubat untuk membantu program deradikalisasi.
Metode seperti ini, lanjut Suhardi, dianggap akan lebih efektif menekan aksi terorisme atau radikalisasi. Langkah pencegahan deradikalisasi itu, ia menuturkan, sudah dilaporkan ke Presiden Joko Widodo. Menurut Suhardi, Jokowi mendukung agenda BNPT yang ingin menangkal terorisme dari aspek hulu.
Selain itu, pertemuan antara Suhardi dan Presiden Jokowi membahas soal penguatan BNPT. Suhardi menuturkan perlu ada penguatan terhadap BNPT. Penguatan diperlukan lantaran masih ada ruang yang belum diatur dalam Undang-Undang Terorisme. Hal itu, lanjutnya, menyangkut prinsip proactivelawenforcement. "Namanya represif untuk preventif," ucap Suhardi.
Ia mencontohkan upaya represif untuk preventif dalam hal pencegahan seseorang yang ingin pergi ke daerah atau negara yang rawan aksi terorisme. Bila tidak ada langkah pencegahan yang diatur dalam UU Terorisme, kata Suhardi, pemerintah akan kesulitan menangani warga negara yang baru kembali dari daerah konflik atau rawan radikalisme. "Orang pulang dari luar negeri tidak bisa diperiksa begitu saja. Ruang seperti itu harus ada formatnya, regulasinya," ucapnya.
Sampai saat ini, pembahasan revisi Undang-Undang Terorisme masih mengambang. Salah satu penyebabnya adalah keberadaan pasal terorisme di revisi Kitab Udang-Undang Hukum Pidana. Hal itu ditakutkan akan membuat Undang-Undang Terorisme dan KUHP tumpang-tindih.
Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) Bangbang Surono, A.k, M.M, CA., optimis BNPT mampu berperan dan berdampak dalam mendukung tercapainya visi Indonesia Emas 2045.
Peran Perempuan dalam Terorisme Harus Dilihat Secara Holistik
26 Februari 2024
Peran Perempuan dalam Terorisme Harus Dilihat Secara Holistik
Executive Board Asian Moslem Network (AMAN) Indonesia, Yunianti Chuzaifah, menyoroti kaitan kaum perempuan Indonesia dengan terorisme tak hanya terjadi di ruang publik, melainkan juga di ruang domestik.