Menteri Lukman: Sulit Menjaga Kerukunan Agama Saat Pilkada
Reporter
Editor
Senin, 24 Oktober 2016 14:47 WIB
Menteri agama Lukman Hakim Saifuddin memberikan keterangan dalam konferensi pers Sidang Itsbat Awal Syawal 1437 H di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, 4 Juli 2016. Pemerintah melalui Kementerian Agama menetapkan Hari Raya Idul Fitri tahun ini jatuh pada hari Rabu 6 Juli 2016. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin mengatakan pemilihan kepala daerah 2017 akan menjadi tantangan untuk menjaga kerukunan beragama di Indonesia. Musababnya, kata dia, isu agama kerap dibawa dalam pilkada, terutama untuk menaikkan atau menjatuhkan nilai dari calon kepala daerah tertentu.
Padahal, lanjut Lukman, berdasarkan hasil sigi Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama pada 2015, tingkat kerukunan umat beragama di Indonesia tinggi. Dari angka tertinggi 100 persen, ucap dia, kerukunan beragama Indonesia mencapai 75,36 persen. "Tidak akan mudah mempertahankan angka itu," ucap dia setelah memberikan paparan dua tahun pemerintah Presiden Joko Widodo di Kantor Staf Kepresidenan, Senin, 24 Oktober 2016.
Lukman pun mencontohkan, di Jakarta, isu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah nonmuslim, sehingga tak pantas kembali jadi gubernur masih kerap diungkit. Padahal, lanjut dia, hal itu tidak memiliki peran signifikan dalam menentukan kualitas atau integritasnya.
"Isu ini terjadi ketika ada kandidat yang berbeda agama. Apalagi, para kandidat dan tim sukses membawa isu agama untuk hal yang justru membuat kita saling berkonfrontasi, bukan rukun," ujar Lukman.
Lukman melanjutkan, satu-satunya hal yang bisa menjaga tingkat kerukunan beragama saat pilkada nanti adalah kedewasaan atau kematangan dari warga Indonesia dan calon kepala daerah itu sendiri. Ia mengatakan sudah tidak mungkin memisahkan isu agama dengan politik sehingga jalan yang tersisa adalah bagaimana membuat isu agama di lingkungan politik menjadi hal yang promotif bukan konfrontatif.
"Saya optimistis itu bisa. Tentu kita tidak boleh menutup mata atas praktik-praktik intoleransi di beberapa tempat. Tapi, saya rasa, itu hanya pada di titik tertentu yang tidak perlu digeneralisir," ujarnya.