Polrestabes Surabaya gelar identifikasi di eks markas radio Bung Tomo, Rabu, 11 Mei 2016. TEMPO/MOHAMMAD SYARRAFAH
TEMPO.CO, Surabaya -Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya menggelar perkara kasus eks markas radio Bung Tomo di Markas Polrestabes Surabaya, Jumat sore, 17 Juni 2016. Hadir dalam gelar perkara itu perwakilan dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Surabaya, Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (DCKTR), Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta tim Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Surabaya Ajun Komisaris Besar Shinto Silitonga mengatakan tujuan gelar perkara itu adalah untuk mengetahui perkembangan penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, dan meminta saran kepada para perwakilan untuk tindaklanjut penanganan bangunan cagar budaya di Jalan Mawar Nomor 10-12 Surabaya itu. “Kami berencana menyerahkan penyidikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil,” kata Shinto kepada wartawan seusai gelar perkara di ruangannya.
Hasil penyelidikan akan diserahkan kepada PPNS yang merupakan gabungan dari Satpol PP dan Disbudpar Pemerintah Kota Surabaya. Sedangkan pihak kepolisian hanya bertindak sebagai koordinator dan pengawas dalam penyelidikan kasus ini. “Dalam adaptasi itu, kami setiap hari akan berdiskusi dengan pihak PPNS selama 10 hari.”
Menurut Shinto, dalam jangka waktu 10 hari itu polisi akan berusaha meyakinkan dan membantu meningkatkan kemampuan, melakukan pendampingan serta menyelia PPNS dalam penyelidikan. Bahkan, untuk memanggil para saksi PPNS akan berkoordinasi dengan polisi. “Kami juga akan berdiskusi kelanjutan penyelidikan dan merumuskan rencana tindaklanjut penyelidikan.”
Peran PPNS sudah diatur dalam peraturan Kapolri No 6 tahun 2010 tentang manajemen penyidikan oleh PPNS. Dalam peraturan itu dinyatakan polisi sebagai koordinator, namun bukan pelaksana utama. “Tapi, kami juga berhak memanggil dan mengevaluasi penyelidikan itu.”
Kasus perobohan bangunan cagar budaya eks markas radio Bung Tomo merebak setelah diratakan dengan tanah. Jayanata, perusahaan yang berpusat di Jakarta pemilik lahan itu hanya minta izin kepada Pemerintah Kota Surabaya untuk merenovasi, bukan merobohkan. Karena melanggar izin yang diberikan Pemerintah Kota dan tim cagar budaya, maka lahan itu disegel oleh Satpol PP dan proses penyelidikannya dilakukan oleh polisi. Namun, saat ini penyelidikan itu kembali diambil alih oleh PPNS Pemerintah Kota Surabaya.