TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau (Koalisi) mendukung Presiden Joko Widodo agar segera mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) demi masa depan Indonesia yang lebih baik dan upaya melindungi hak masyarakat untuk mendapat kesehatan. Koalisi juga meminta pemerintah agar tidak khawatir terhadap dampak FCTC terhadap perekonomian nasional.
“FCTC itu saling mendukung dengan penegakan dan perlindungan HAM, juga melindungi para petani dan tenaga kerja di sektor tembakau,” kata Koordinator Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau Ifdhal Kasim sesuai siaran pers yang diterima Tempo pada Rabu, 15 Juni 2016.
Pada Selasa, 14 Juni 2016, Presiden Jokowi menggelar Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) membahas rencana aksesi FCTC yang dihadiri oleh seluruh menteri koordinator dan beberapa kementerian terkait. Ratas ini merupakan forum resmi pertama yang diadakan secara terbuka untuk membahas isu pengendalian tembakau.
Forum ini digelar untuk memperjelas sikap pemerintah terkait aksesi FCTC yang sudah disahkan PBB pada 2003. Dalam Ratas tersebut, Presiden Jokowi meminta agar dikaji rencana aksesi FCTC dengan mempertimbangkan kepentingan nasional yaitu perlindungan kesehatan terutama anak-anak serta dampaknya terhadap petani dan tenaga kerja di sektor tembakau.
BACA:Presiden Minta Impor Tembakau Dikurangi
BACA:Stop Merokok, Setahun Indonesia Hemat Rp 217 Triliun
Direktur Raya Indonesia Hery Chariansyah menyatakan bahwa aksesi FCTC akan memperkuat perlindungan anak dari zat adiktif. “Regulasi yang ada selama ini belum efektif melindungi anak dari zat adiktif,” katanya. “Aksesi FCTC akan menjadi kerangka penguatan kebijakan nasional, misalnya melarang iklan dan sponsor industri rokok”.
Deni Wahyudi Kurniawan dari Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) PP Muhammadiyah mengatakan pemerintah tak perlu takut tindakan mengaksesi FCTC akan merugikan petani dan pekerja industri. “Tembakau itu zak adiktif, sehingga efek pengendalian tembakau itu berlangsung lambat”.
Ia mencontohkan pengalaman Thailand yang mengaksesi FCTC pada 2004. Prevalensi perokok di Thailand memang turun dari 32 persen pada 2001 menjadi 20,5 persen pada 2013. Tapi konsumsi tembakau Thailand masih stabil. Jika pada 2001, konsumsi tembakau di Thailand berjumlah 1.727 juta bungkus, maka pada 2009 berjumlah 1.790 pak.
“Pemerintah tak perlu khawatir industri rokok akan gulung tikar dan terjadi PHK besar-besaran seperti dikhawatirkan,” kata Deni. Bahkan, meski sudah mengaksesi FCTC, pendapatan cukai di negara itu justru meningkat hingga empat kali lipat dari 530 juta dolar pada 1991 menjadi US$ 1.907 juta pada 2011.
Ia menegaskan, regulasi yang ketat hanya akan memperlambat penambahan prevalensi dan efektif bagi perokok muda.
ISTIQOMATUL HAYATI