TKI Rita Divonis Mati, Sang Ibu Kadang Tenang Kadang Syok
Editor
MC Nieke Indrietta Baiduri
Kamis, 2 Juni 2016 08:32 WIB
TEMPO.CO, Ponorogo - Setelah menutup rapat-rapat pintu rumah, keluarga Rita Krisdianti di Desa Gabel, Kecamatan Kauman, Ponorogo, Jawa Timur, pergi ke Madiun. Relawan Migrant Institute, Sulistyaningsih, mengatakan kepergian Poniyati (ibu Rita) dan Sardjono (ayah tiri Rita) bertujuan untuk mengurus tanaman di ladang. "Rabu pagi, mereka pergi. Semoga saja bisa lebih tenang dan terhibur,’’ kata Sulis, Rabu, 1 Juni 2016.
Pasca-vonis hukuman mati dijatuhkan Mahkamah Tinggi kepada Rita, kondisi psikologis Poniyati dan Mujiono belum stabil. Mereka pun jadi tertutup. Mereka juga belum mau menerima wartawan yang ingin mewawancarai. ‘’Kadang tenang, kadang syok. Untuk sementara, mereka hanya mau berbicara dengan orang dekat yang dipercaya,’’ kata Sulis.
Ia juga tidak tahu kapan suami-istri itu kembali ke Ponorogo. Mereka bisa berhari-hari jika berada di Madiun, daerah asal Sardjono. Apalagi di sana ada anak kandung Sardjono, sebelum ia menikah dengan Poniyati, yang berstatus janda lantaran ditinggal mati Mujiono.
Dari pernikahan pertama dengan Mujiono, Poniyati punya dua anak perempuan. Anak pertama merantau ke Bangka Belitung, sedangkan anak kedua adalah Rita, yang tersandung masalah hukum di Malaysia. Mahkamah Tinggi Penang, Malaysia, telah menjatuhkan vonis hukuman mati kepada Rita lantaran kedapatan membawa tas berisi 4 kilogram sabu-sabu saat transit di bandara Malaysia pada 2013. (Baca: Rita, TKW yang Divonis Mati, Semasa Sekolah Tidak Nakal)
Sejak akhir 2015, Sulis mengatakan Migrant Institute mulai intens melakukan pendampingan. Mereka berusaha membesarkan hati kedua orang tua Rita. Caranya dengan menyatakan upaya hukum lanjutan yang akan dilakukan pemerintah, yakni banding hingga tahap permohonan pengampunan Sultan di Malaysia.
Menurut Sulis, pernyataan tersebut intens disampaikan kepada orang tua Rita. Ia berharap, Poniyati dan Sardjono lebih tenang dan mendekatkan diri kepada Tuhan. ‘’Kalau tidak bisa bertemu, saya juga sering menelepon Bu Poni (Poniyati), atau kadang dia yang menelepon,’’ ucapnya. Komunikasi melalui telepon biasanya dilakukan dua hingga kali per hari.
Januri, perangkat Desa Gabel, menyatakan pemerintah desa setempat tidak bisa berbuat banyak untuk mendampingi keluarga Rita. Sebab, mereka masih menutup diri dan larut dalam kesedihan. ‘’Kami (pemerintah desa) masih diam karena kerabat yang tinggal di sebelah rumahnya tidak berani mendekat,’’ ujar pamong urusan teknis di Desa Gabel itu.
Kendati demikian, Januri dan warga Desa Gabel berharap Rita bisa dibebaskan dari hukuman mati. Sebab, selama ini perempuan tersebut dikenal pendiam dan tidak aneh-aneh. Mereka tidak menyangka Rita tersandung kasus narkotik.
Rita merupakan TKW yang kedapatan membawa tas berisi 4 kilogram sabu-sabu saat transit di bandara Malaysia. Atas tuduhan tersebut, ia dijerat dengan Pasal 39B Akta Dadah Berbahaya Tahun 1952 dengan ancaman hukuman gantung jika terbukti bersalah.
NOFIKA DIAN NUGROHO