TEMPO.CO, Ponorogo - Rita Krisdianti, 27 tahun, tenaga kerja wanita asal Gabel, Kauman, Ponorogo, Jawa Timur, yang divonis hukuman mati oleh Mahkamah Tinggi Penang, Malaysia, dikenal pendiam dan tertutup. Suparno, tetangganya, mengatakan Rita jarang ke luar rumah dan berbincang dengan tetangga.
"Kalau guyon (bercanda) hanya saat belanja di toko. Itu juga tidak lama,’’ kata Suparno, pemilik toko kelontong di depan rumah orang tua Rita.
Karena itu, Suparno tidak yakin Rita bisa tersandung perkara narkotik di Malaysia. Sebab, selama sekolah dan masih tinggal di Desa Gabel, tidak terlihat tanda-tanda kenakalan bungsu dari dua bersaudara tersebut. "Biasa-biasa saja dia,’’ ucapnya kepada Tempo.
Dalam pergaulannya bersama muda-mudi setempat beberapa tahun lalu, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan Bhakti, Ponorogo, ini pun tidak mencolok. Narsih, warga Desa Gabel, mengatakan, saat ikut kegiatan karang taruna, Rita cenderung pasif. ‘"Lebih banyak diam," ujar perempuan berusia 30 tahun tersebut.
Dengan alasan itu, Narsih tidak menyangka Rita terlilit perkara hukum di Negeri Jiran. Ia dan sejumlah warga Desa Gabel berharap, tenaga kerja wanita ini bisa terbebas dari hukuman mati, seperti yang telah diputuskan Mahkamah Tinggi Penang, Malaysia, Senin, 30 Mei 2016.
Vonis tersebut membuat Poniyati (ibu Rita) dan Sardjono (ayah tiri) syok. Sejak Senin hingga Selasa siang ini, kediaman mereka tertutup rapat. Sejumlah wartawan yang ingin meminta tanggapan tidak bisa menemui pihak keluarga.
Beberapa petugas Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Ponorogo enggan memberikan tanggapan. Mereka juga tidak bisa ditemui.
Kasus Rita telah bergulir sejak 2013. Rita kedapatan membawa tas berisi 4 kilogram sabu-sabu saat transit di bandara Malaysia. Atas tuduhan tersebut, ia dijerat Pasal 39B Akta Dadah Berbahaya Tahun 1952 dengan ancaman hukuman gantung jika terbukti bersalah.
NOFIKA DIAN NUGROHO