Pengunjung melintasi layar monitor pada acara Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta, 18 April 2016. TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Yogyakarta - Syarikat Indonesia yang digawangi generasi muda Nahdlatul Ulama (NU) mendesak negara untuk memfasilitasi rekonsiliasi nasional dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
Upaya rekonsiliasi nasional dinilai mendesak mengingat masih adanya reaksi kelompok-kelompok yang menuding penyelenggaraan Simposium 1965 di Jakarta pada April 2016 adalah kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun komunisme gaya baru.
“Karena rekonsiliasi kultural tidak cukup. Harus ada rekonsiliasi nasional yang dilakukan negara,” kata Sekretaris Eksekutif Syarikat Indonesia Akhmad Murtajib saat menggelar konferensi pers di Lecker Rumah Kopi, Yogyakarta, Kamis, 19 Mei 2016.
Akhmad menjelaskan, sejak 2000, Syarikat Indonesia telah memulai rekonsiliasi kultural terhadap korban atau pihak-pihak yang berselisih pascatragedi 1965. Rekonsiliasi kultural berupa pendampingan yang hingga kini sampai di 35 kota, yang tersebar Pulau Jawa dan Bali. Mereka dipertemukan dan diajak dialog bersama.
“Di antara mereka sudah tidak ada masalah. Bahkan ada yang menikah di antara mereka,” kata Akhmad.
Persoalan, menurut Akhmad, justru muncul di tingkat elite negara, terutama tentara. Kericuhan di beberapa daerah muncul pasca-Simposium 1965 yang merekomendasikan rekonsiliasi di daerah. Seperti pembubaran pemutaran film Buru Tanah Air Beta di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, pelarangan Festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki di Jakarta, pembubaran Sekolah Marxist di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) di Bandung, juga razia dan penyitaan sejumlah buku yang dicap mengajarkan komunisme.
“Isunya jadi ke mana-mana. Soal kebangkitan komunisme. Padahal korban masa lalu tenang-tenang saja,” kata Akhmad.
Upaya untuk meredam ketakutan dan konflik berkepanjangan tersebut, menurut Akhmad, harus dengan memutus mata rantai nilai dan tradisi kekerasan politik dengan menjunjung tinggi Pancasila sebagai falsafah hidup. “Harus dilakukan dengan tulus ikhlas. Yang tidak paham jangan banyak tingkah,” kata Akhmad.
Aktivis Sosial Movement Institute (SMI) Eko Prasetyo menganggap kondisi saat ini adalah matinya kesadaran kritis dan akal sehat publik. Hal itu ditandai dengan penerbitan yang diawasi, kebebasan berekspresi yang dikontrol, dan kegiatan akademis yang dipasung.
“Orang jadi merasa terancam dan diwaspadai,” kata Eko, yang pernah menulis buku berjudul Orang Miskin Dilarang Sakit ini.