Negara Diminta Akhiri Konflik Melalui Rekonsiliasi Kasus 65  

Reporter

Editor

Zed abidien

Kamis, 19 Mei 2016 15:58 WIB

Pengunjung melintasi layar monitor pada acara Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta, 18 April 2016. TEMPO/Aditia Noviansyah

TEMPO.CO, Yogyakarta - Syarikat Indonesia yang digawangi generasi muda Nahdlatul Ulama (NU) mendesak negara untuk memfasilitasi rekonsiliasi nasional dalam penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.

Upaya rekonsiliasi nasional dinilai mendesak mengingat masih adanya reaksi kelompok-kelompok yang menuding penyelenggaraan Simposium 1965 di Jakarta pada April 2016 adalah kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) maupun komunisme gaya baru.

“Karena rekonsiliasi kultural tidak cukup. Harus ada rekonsiliasi nasional yang dilakukan negara,” kata Sekretaris Eksekutif Syarikat Indonesia Akhmad Murtajib saat menggelar konferensi pers di Lecker Rumah Kopi, Yogyakarta, Kamis, 19 Mei 2016.

Akhmad menjelaskan, sejak 2000, Syarikat Indonesia telah memulai rekonsiliasi kultural terhadap korban atau pihak-pihak yang berselisih pascatragedi 1965. Rekonsiliasi kultural berupa pendampingan yang hingga kini sampai di 35 kota, yang tersebar Pulau Jawa dan Bali. Mereka dipertemukan dan diajak dialog bersama.

“Di antara mereka sudah tidak ada masalah. Bahkan ada yang menikah di antara mereka,” kata Akhmad.

Persoalan, menurut Akhmad, justru muncul di tingkat elite negara, terutama tentara. Kericuhan di beberapa daerah muncul pasca-Simposium 1965 yang merekomendasikan rekonsiliasi di daerah. Seperti pembubaran pemutaran film Buru Tanah Air Beta di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, pelarangan Festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki di Jakarta, pembubaran Sekolah Marxist di Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) di Bandung, juga razia dan penyitaan sejumlah buku yang dicap mengajarkan komunisme.

“Isunya jadi ke mana-mana. Soal kebangkitan komunisme. Padahal korban masa lalu tenang-tenang saja,” kata Akhmad.

Upaya untuk meredam ketakutan dan konflik berkepanjangan tersebut, menurut Akhmad, harus dengan memutus mata rantai nilai dan tradisi kekerasan politik dengan menjunjung tinggi Pancasila sebagai falsafah hidup. “Harus dilakukan dengan tulus ikhlas. Yang tidak paham jangan banyak tingkah,” kata Akhmad.

Aktivis Sosial Movement Institute (SMI) Eko Prasetyo menganggap kondisi saat ini adalah matinya kesadaran kritis dan akal sehat publik. Hal itu ditandai dengan penerbitan yang diawasi, kebebasan berekspresi yang dikontrol, dan kegiatan akademis yang dipasung.

“Orang jadi merasa terancam dan diwaspadai,” kata Eko, yang pernah menulis buku berjudul Orang Miskin Dilarang Sakit ini.

PITO AGUSTIN RUDIANA

Berita terkait

7 Tahun Berdiri, AMSI Dorong Ekosistem Media Digital yang Sehat

22 jam lalu

7 Tahun Berdiri, AMSI Dorong Ekosistem Media Digital yang Sehat

Selama tujuh tahun terakhir, AMSI telah melahirkan sejumlah inovasi untuk membangun ekosistem media digital yang sehat dan berkualitas di Indonesia.

Baca Selengkapnya

AJI Gelar Indonesia Fact Checking Summit dan Press Freedom Conference

1 hari lalu

AJI Gelar Indonesia Fact Checking Summit dan Press Freedom Conference

AJI menilai kedua acara ini jadi momentum awal bagi jurnalis di Indonesia dan regional untuk mempererat solidaritas.

Baca Selengkapnya

Aktivis Laporkan Pj Wali Kota Yogyakarta ke Gubernur DIY hingga Ombudsman, Ini Alasannya

3 hari lalu

Aktivis Laporkan Pj Wali Kota Yogyakarta ke Gubernur DIY hingga Ombudsman, Ini Alasannya

Koalisi Pegiat HAM dan Anti Korupsi melaporkan Pj Wali Kota Yogyakarta Singgih Rahardjo ke Gubernur DIY, Mendagri, KPK dan Ombudsman

Baca Selengkapnya

Hari Kartini, Yogyakarta Diramaikan dengan Mbok Mlayu dan Pameran Lukisan Karya Perempuan

11 hari lalu

Hari Kartini, Yogyakarta Diramaikan dengan Mbok Mlayu dan Pameran Lukisan Karya Perempuan

Para perempuan di Yogyakarta memperingati Hari Kartini dengan lomba lari dan jalan kaki, serta membuat pameran lukisan.

Baca Selengkapnya

Tak Hanya Malioboro, Tiga Kampung Wisata di Yogyakarta Ini juga Dilirik Wisatawan saat Libur Lebaran

14 hari lalu

Tak Hanya Malioboro, Tiga Kampung Wisata di Yogyakarta Ini juga Dilirik Wisatawan saat Libur Lebaran

Tiga kampung wisata di Kota Yogyakarta ini paling banyak didatangi karena namanya sudah populer dan mendapat sederet penghargaan.

Baca Selengkapnya

Pengamat Sebut Prabowo Bisa Redam Tensi setelah Pemilu 2024, Apa Alasannya?

16 hari lalu

Pengamat Sebut Prabowo Bisa Redam Tensi setelah Pemilu 2024, Apa Alasannya?

Prabowo Subianto dinilai bisa melakukan rekonsiliasi dengan Megawati Soekarnoputri.

Baca Selengkapnya

Parpol hingga Ketua MPR Dorong Rekonsiliasi Nasional seusai Pemilu 2024

17 hari lalu

Parpol hingga Ketua MPR Dorong Rekonsiliasi Nasional seusai Pemilu 2024

Pengamat meyakini Prabowo bisa melakukan rekonsiliasi dengan Megawati.

Baca Selengkapnya

Rekonsiliasi Nasional, Jusuf Kalla Minta Hormati Proses di MK

22 hari lalu

Rekonsiliasi Nasional, Jusuf Kalla Minta Hormati Proses di MK

Jusuf Kalla menilai positif kunjungan Roeslan Roeslani ke rumah Megawati Soekarnoputri. Soal rekonsiliasi nasional, ia menilai ada banyak waktu lain.

Baca Selengkapnya

Mengintip Wahana Baru di Taman Pintar Yogyakarta saat Libur Lebaran

26 hari lalu

Mengintip Wahana Baru di Taman Pintar Yogyakarta saat Libur Lebaran

Dua alat peraga baru di Taman Pintar Yogyakarta di antaranya multimedia berupa Videobooth 360 derajat dan Peraga Manual Pump.

Baca Selengkapnya

3 Anggota TNI AL di Halmahera Selatan Lakukan Penganiayaan Jurnalis, Begini Kecaman dari Dewan Pers, AJI, dan KontraS

29 hari lalu

3 Anggota TNI AL di Halmahera Selatan Lakukan Penganiayaan Jurnalis, Begini Kecaman dari Dewan Pers, AJI, dan KontraS

Penganiayaan jurnalis oleh 3 anggota TNI AL terjadi di Halmahera Selatan. Ini respons Dewan Pers, AJI, dan KontraS. Apa yang ditulis Sukadi?

Baca Selengkapnya