Puluhan massa yang yang tergabung dalam Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBali) melakukan aksi dengan membentangkan sejumlah poster dan spanduk saat Car Free Day di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, 20 Maret 2016. Menurut mereka, reklamasi Teluk Benoa akan mengancam budaya dan masyarakat di Bali. TEMPO/Amston Probel
TEMPO.CO, Denpasar - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali sebagai lembaga yang mewakili rakyat semestinya menyuarakan aspirasi rakyat, seperti aspirasi menolak reklamasi Teluk Benoa yang semakin merebak di kalangan desa adat.
"Jadi bukan soal secara pribadi menolak atau menerima. Kalau rakyat menolak, ya harus tolak," ujar IGK Krisna Budhi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali dari Fraksi Partai Golongan Karya, Senin, 28 Maret 2016.
Krisna mengakui, sampai saat ini, DPRD belum membuat suara resmi. Tapi dia yakin akan mengarah ke sana. "Mungkin sekarang belum sampai saat yang tepat," ucapnya. Krisna merupakan satu dari dua anggota Dewan yang tegas menolak reklamasi.
Satu anggota lain, Adhi Ardhana, menyatakan proses reklamasi saat ini sebenarnya berjalan tanpa restu Dewan Bali. Rekomendasi DPRD Bali telah dicabut untuk pengajuan analis dampak lingkungan (amdal), dan pihak investor hanya menggunakan rekomendasi Gubernur Bali.
Adhi meminta Dewan mempertanyakan pertentangan aturan antara Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dan Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 tentang revitalisasi Teluk Benoa. Sebab, dalam UU Pariwisata, revitalisasi hanya boleh mengembalikan bentuk asli, bukan mengubah fungsinya.
Namun diakuinya belum ada sikap yang tegas dari lembaga itu. Di pihak lain, hanya beberapa anggota Dewan yang berani secara terbuka menolak. Akibatnya, rakyat menganggap DPRD mendukung reklamasi.
Mengenai tekanan dari partai atau fraksi, menurut dia, belum terasa. Sedangkan soal isu adanya anggota atau pimpinan yang sudah menerima uang untuk tak bersuara, Adhi mengaku tak mengetahuinya.