Mantan petinggi juga Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar, memberikan kata sambutan dalam acara puncak peringatan 10 tahun Memorandum of Understanding Helsinki Finlandia, di Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh, 15 November 2015. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Banda Aceh – Tiga kelompok etnik bersenjata (Ethnic Armed Organizations- EAOs) Myanmar berkunjung ke Provinsi Aceh untuk belajar tentang perdamaian. Mereka bertemu dengan unsur pemerintah daerah Aceh dan sejumlah organisasi 14 - 20 Februari 2016.
Kelompok yang berasal dari etnik Karen itu adalah kelompok perlawanan yang sudah menandatangani perjanjian gencatan senjata nasional (National Ceasefire Agreement, NCA) Myanmar. Penandatanganan itu terdiri dari Karen National Union/Karen National Liberation Army (KNU/KNLA), Democratic Karen Benevolent Army (DKBA), dan Karen National Union/Karen National Liberation Army Peace Council (KNU/KNLA PC).
Ada 15 pejabat tinggi dan sayap militer kelompok Karen yang dipimpin Jenderal Isaac Po didampingi oleh staf dari Center for Peace and Conflict Studies. Keberadaan mereka di Aceh difasilitasi oleh lembaga riset International Center for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS).
“Mereka ingin menggali pengalaman Aceh dalam tahapan-tahapan perdamaian dan tantangannya,” kata Program Assistant ICAIOS, Fahmi Yunus, Rabu, 17 Februari 2016.
Pada Selasa kemarin mereka telah bertemu dengan Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haytar yang juga bekas Perdana Menteri Gerakan Aceh Merdeka. Pada kesempatan itu Malik menjelaskan perjuangan Aceh, konflik Aceh serta proses perdamaian Aceh yang telah diinisiasi sejak 1999 dan kemudian damai pada 15 Agustus 2005.
Malik mengungkapkan masalah yang dihadapi Aceh dulu hampir sama dengan konflik Myanmar yang saat ini sudah memasuki fase damai, namun masih terdapat beberapa tantangan. “Jika Anda melakukan dialog maka Anda akan mendapat dukungan dari rakyat dan juga komunitas internasional,” kata Malik.