Pemerintah Pelanggar Konstitusi Terbanyak, Ini Temuannya
Editor
Maria Rita Hasugian
Senin, 1 Februari 2016 04:34 WIB
TEMPO.CO, Padang - Pemerintah Indonesia telah melakukan pelanggaran konstitusi. Pelanggarannya berbentuk kebijakan atau tindakan dari pejabat atau lembaga eksekutif yang dipimpin presiden dan para menterinya serta lembaga setingkat menteri.
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas merilis dalam Barometer Mala-Konstitusi 2015, sepanjang tahun 2015, ada 214 penyimpangan yang dilakukan lembaga eksekutif. Pelanggaran tertinggi terjadi pada Januari 2015, yaitu sebanyak 40 kasus.
Peneliti PUSaKO, Feri Amsari, mengatakan pelanggaran terbanyak dilakukan pemerintah terhadap Pasal 28H UUD 1945. Jumlah pelanggaran sebanyak 64 kasus, terutama Pasal 28H ayat 1 yang berbunyi setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Misalnya, kata Feri, kasus asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Seharusnya negara bertanggung jawab memberikan suasana kehidupan yang layak bagi masyarakat.
"Ini pelanggaran konstitusi yang paling berat. Apalagi ada korban," ujar Feri saat merilis Barometer Mala-Konstitusi 2015 di Rumah Ikhas, Kota Padang, Sumatera Barat, Minggu, 31 Januari 2016.
Menurut Feri, pemerintah gagal memberikan perlindungan kepada masyarakat saat bencana asap terjadi. Sebab, pemerintah tak mampu mengatasi kabut asap yang terjadi hampir setiap tahun.
Peneliti PUSaKO lainnya, Beni Kurnia Ilahi, mengatakan pelanggaran konstitusi juga dilakukan legislatif, yaitu DPD dan DPR. Sepanjang tahun 2015 ada 40 kasus pelanggaran yang dilakukan.
Menurut Beni, pelanggaran konstitusi itu berdampak terhadap pelbagai bidang kehidupan, terutama bidang hukum sebesar 31 persen dan bidang politik 28 persen.
Salah satu pelanggaran konstitusi di dalam bidang hukum dan politik adalah sikap DPD dalam menanggapi kisruh KPK dan Polri. Mereka memihak kepada salah satu lembaga tertentu.
"DPR juga kerap memanfaatkan kewenangannya demi melaksanakan kepentingan partai. Hal itu tergambar dari sikap DPR yang menggunakan hak angketnya terkait dengan kisruh partai politik tertentu dengan mengadali kebijakan Kementerian Hukum dan HAM," ujarnya.
Kata Beni, pasal yang sering dilanggar legislatif adalah Pasal 28D. Ada sebanyak 11 kasus yang berkaitan dengan kepastian hukum. Kemudian, ada 10 kasus pelanggaran terhadap Pasal 20A yang berkaitan dengan pelanggaran tiga fungsi lembaga legislatif.
Pelanggaran konstitusi juga dilakukan lembaga yudikatif. Ada delapan kasus pelanggaran yang dilakukan yudikatif.
Menurut peneliti PUSaKO M Nurul Fajri, ada tiga faktor kecilnya pelanggaran yang dilakukannya yudikatif. Pertama, lembaga yudikatif seperti Mahkamah Konstitusi tidak banyak melakukan kewenangannya sepanjang 2015. Kedua, yudikatif dilindungi dengan pasal-pasal penghinaan peradilan.
Ketiga, penyimpangan lembaga yudikatif dalam putusannya hanya dirasakan masyarakat pencari keadilan yang mendaftarkan perkaranya melalui proses persidangan. Sehingga, hanya orang-orang tertentu yang dapat merasakan terjadinya pelanggaran konstitusi.
"Tapi meskipun kecil, dampak dari pelanggarannya sangat luas," ujarnya.
Salah satu kasusnya, kata Nurul, upaya Mahkamah Agung untuk menghapuskan peran Komisi Yudisial yang memiliki kewenangan mengawasi hakim, terutama di bidang etika dan moralitas hakim.
MA juga melakukan manuver dengan menyatakan peninjauan kembali (PK) perkara hanya dapat dilakukan sekali. Padahal, putusan MK sebagai penafsir tunggal konstitusi menyatakan PK dapat dilakukan berkali-kali sepanjang ada alat bukti baru.
"Tindakan MA itu telah menyebabkan lembaga peradilan bertindak menyimpang dari UUD 1945," ujarnya.
Menurut Nurul, pelanggaran konstitusi yang dilakukan lembaga yudikatif menyentuh bidang perlindungan HAM. Ada enam kasus pelanggaran terhadap Pasal 28C dan Pasal 28D.
Kata Nurul, seharusnya lembaga yudikatif mengedepankan kepekaannya terhadap HAM. Sebab, para pencari keadilan mengajukan perkaranya ke MA dan MK agar memperoleh jaminan HAM. Mereka ingin mendapatkan perlindungan melalui putusan lembaga yudikatif.
Koordinator tim peneliti Barometer Mala-Konstitusi Charles Simabura mengatakan penelitian ini menggunakan metodologi penelitian campuran dalam riset-riset ilmu sosial, yaitu menggabungkan metodologi kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini juga menggunakan metodologi campuran dalam metodologi ilmu hukum, yang menyatukan metodologi penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis.
ANDRI EL FARUQI