Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla mengadakan pertemuan dengan pimpinan lembaga negara di Istana Negara, Jakarta, 19 Januari 2016. Pertemuan ini dihadiri Ketua MPR Zulkifli Hasan, Ketua DPR Ade Komarudin, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua MK Arief Hidayat, Ketua sementara KY Maradam Harahap dan Ketua BPK Herry Azhar. TEMPO/Aditia Noviansyah
TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo mempertimbangkan membuat undang-undang baru mengenai pencegahan terorisme. Menurut dia, pemerintah memiliki tiga opsi yang sampai saat ini masih dikaji dalam rangka penguatan pemberantasan tindak pidana terorisme.
"Ada beberapa alternatif yang saat ini belum diputuskan. Masih dalam proses semuanya. Bisa nanti revisi undang-undang, bisa nanti perpu, bisa nanti membuat undang-undang baru mengenai pencegahan," ucap Jokowi di Istana Merdeka, Rabu, 20 Januari 2016.
Jokowi mengatakan pemerintah dan semua lembaga tinggi negara, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat, sudah setuju mengenai perlunya penguatan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. "Intinya, mereka memiliki pemikiran yang sama," ujarnya. Presiden menuturkan pemerintah masih terus mendalami opsi terbaik dari tiga pilihan yang ada.
Presiden menyadari mengenai kondisi terorisme di Indonesia yang sudah berbahaya. Menurut dia, saat ini ada sebuah keperluan yang sangat mendesak agar penguatan UU ini segera diselesaikan. Penguatan, baik berupa revisi UU, penerbitan perpu, atau pembentukan UU baru, kata Jokowi, bertujuan memberikan kepolisian sebuah payung hukum untuk bertindak lebih leluasa di lapangan.
"Jadi polisi bisa melakukan pencegahan-pencegahan yang diberikan payung hukum, sehingga ada keberanian untuk bertindak di lapangan," ucapnya. Jokowi memberikan target kepada para menteri terkait untuk segera menyelesaikan soal pemberantasan tindak pidana terorisme tersebut.
Penguatan UU anti-terorisme, ujar Jokowi, nantinya juga mengatur mengenai status kewarganegaraan WNI yang mengikuti latihan perang di Suriah. "Nanti di dalamnya yang berkaitan dengan itu juga," tuturnya.