Mau Jadi Komisioner Ombudsman? Penuhi 5 Kriteria Ini
Editor
Maria Rita Hasugian
Senin, 18 Januari 2016 10:36 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3) mendesak DPR segera melaksanakan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI). MP3 pun merekomendasikan beberapa kriteria yang dapat menjadi masukan bagi Komisi Pemerintahan Dalam Negeri dan Otonomi Daerah DPR untuk menetapkan sembilan calon komisioner yang terdiri atas ketua, wakil ketua, serta anggota ORI.
Menurut Manajer Advokasi YAPPIKA, Hendrik Rosdinar, yang tergabung dalam MP3, komisioner ORI harus memiliki kapasitas mengatur pengelolaan keuangan untuk mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Pada 2014, ORI mendapatkan opini disclaimer (tanpa memberi pernyataan) dari BPK," kata peneliti Indonesia Parliament Center Desiana Samosir di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta Selatan, Ahad, 17 Januari 2016.
MP3 pun juga mengharuskan komisioner ORI bisa membangun kelembagaan, khususnya di kantor-kantor perwakilan ORI yang tersebar di seluruh Indonesia. "Kami menduga terjun bebasnya opini dari BPK disebabkan oleh ketidaksiapan mereka menghadapi institusi yang terus membesar," ujar Hendrik.
Hendrik mengatakan kriteria kedua yang wajib dimiliki komisioner ORI adalah harus memiliki kapasitas untuk menyelesaikan regulasi tentang mekanisme ganti rugi pelayanan publik dan ajudikasi khusus yang selama ini tertunda. "Ini salah satu pekerjaan rumah terbesar untuk ORI. ORI harus melakukan ajudikasi khusus. Tapi selama ini belum terlaksana karena belum ada turunan dari Undang-Undang Pelayanan Publik," tutur Desi.
Selain itu, Hendrik berujar, komisioner ORI harus berinisiatif mengelola pengaduan dan investigasi. "Hal ini untuk mencegah maladministrasi. Ini yang penting untuk dilihat oleh Komisi II DPR yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan," katanya.
Komisioner ORI, kata Hendrik, juga harus memiliki niat untuk memperbaiki kualitas penyelenggaraan layanan sehingga pelayanan publik lebih meningkat. "Mereka juga harus bisa menjalin relasi dengan mitra, seperti kementerian dan lembaga negara lainnya, sehingga rekomendasi ORI dapat tereksekusi dengan baik," ujar Hendrik.
Menurut Desi, rekomendasi yang diterbitkan ORI selama ini jarang ditindaklanjuti lembaga terkait. Padahal, menurut undang-undang, rekomendasi ORI harus dieksekusi. "Persoalannya, ORI dianggap tidak punya kekuatan untuk menekan lembaga publik. Contohnya saja rekomendasi tentang GKI Yasmin yang sampai sekarang tidak dieksekusi," ujarnya.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Mulki Shader pun meminta DPR untuk tidak menunda pelaksanaan tes tersebut, yang seharusnya digelar pada 19-21 Januari besok. Menurut dia, Presiden Joko Widodo telah menyerahkan 18 nama calon Komisioner ORI kepada DPR pada akhir November lalu. "DPR harus memilih dan menetapkan sembilan calon Komisioner ORI paling lambat 30 hari kerja sejak diterima dari Presiden," katanya.
Mulki mengungkapkan, masa jabatan Komisioner ORI saat ini akan berakhir pada 17 Februari 2016. Karena itu, dia pun meminta DPR untuk tidak menunda fit and proper test tersebut. "Kami dengar ada penundaan. Hal ini tentu berpotensi merugikan karena ORI punya peran vital di masyarakat. Seharusnya, saat ORI pergantian jabatan, DPR sudah memiliki nama yang dipilih," ujar Mulki.
ANGELINA ANJAR SAWITRI