Susuri Papua, Begini Pemandangan Indah Rute Wamena-Tolikara
Senin, 4 Januari 2016 11:48 WIB
TEMPO.CO, Karubaga - Pada pertengahan Desember 2015, Tempo menyusuri pegunungan tengah Papua dengan naik kendaraan umum dari Wamena, Kabupaten Jayawijaya, ke Distrik Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua. Ketika "taksi" Strada yang ditumpangi Tempo meninggalkan terminal Wamena, gerimis mulai turun membasahi Ibu Kota Jayawijaya itu. Sopir taksi mobil dobel gardan (four wheels drive) dengan bak terbuka di bagian belakang, mengemudikan mobil dengan hati-hati. “Ini hujan pertama setelah lima bulan,” kata Nico Hisage, 39 tahun, sopir itu.
Satu-satunya jalan raya yang menghubungkan Wamena dan Tolikara tampak sepi. Hanya ada beberapa truk dan “taksi” yang datang dari arah Tolikara. Cuaca mendung dan rintik hujan membuat suasana jadi muram. Para penumpang memilih diam selama perjalanan.
Sepinya percakapan juga disebabkan indahnya pemandangan di sepanjang jalan Wamena-Tolikara. Sejumlah honai--rumah tinggal tradisional warga Papua--dengan ukuran berbeda, dari yang kecil, sedang, hingga besar, sesekali menyembul dari balik pepohonan rimbun. Honai itu tampak berdampingan dengan rumah beratap seng dan berdinding papan kayu.
Setelah dua jam perjalanan, perkampungan honai yang indah itu berganti dengan pemandangan hutan belantara. Biasanya perjalanan Wamena-Tolikara ditempuh dalam empat jam. Saat masuk hutan, jalan rusak terhampar di depan mata. Jurang menganga di sisi kanan-kiri jalan yang berlumpur dan berbatu.
SIMAK:
Nilai Uang di Papua, Seribu di Jakarta Setara Sepuluh Ribu
Jangan Kaget, di Papua Harga Sepiring Nasi Pecel Rp 70 Ribu
Sopir taksi berjibaku mempertahankan mobil di lintasannya. Dia sesekali seperti “berselancar” karena permukaan jalan yang licin. Susah payah, mobil itu berusaha menghindari lubang menganga di tengah jalan. Tubuh penumpang terguncang beberapa kali.
Memasuki Distrik Poga, Kabupaten Tolikara, pemandangan hutan berganti dengan tumpukan kayu yang sudah diolah jadi papan, kayu batangan, dan kayu bakar. Semuanya diletakkan di pinggir jalan. Hutan-hutan tampak gundul karena ditebangi.
Kayu-kayu itu, menurut beberapa penumpang yang satu taksi dengan Tempo, sudah ada pemiliknya. Meski ada juga tumpukan kayu yang sengaja dipajang di pinggir jalan untuk menanti pembeli yang melintas di jalan.
Sang sopir, Nico Hisage, menuturkan kalau masyarakat terpaksa menebang kayu dari hutan untuk dijual ke pembeli yang melintas di jalan, karena tak ada sumber penghasilan lain. Mengambil kayu dari hutan merupakan mata pencarian utama warga sekitar hutan. “Satu kubik kayu dijual Rp 5,2 juta,” kata Nico. Dia tak tahu pasti jenis kayu yang diambil oleh warga dari hutan. “Di sini ada disebut kayu Cina, karena putih kayunya. Itu biasanya untuk papan rumah,“ kata Nico.
Sepanjang jalan, suara mesin pemotong kayu alias chainsaw terdengar menderu-deru dari dalam hutan. Beberapa pohon kayu tergeletak di pinggir jalan menunggu diolah oleh pemiliknya.
MARIA RITA